YOGYAKARTA – Alat pengintai longsor yang dipasang di daerah rawan longsor di 12 propinsi dan beberapa perusahaan tambang dalam dan luar negeri telah mengantarkan penemunya, Teuku Faisal Fathani, S.T., M.T., Ph.D., mendapatkan penghargaan juara I Dosen beprestasi tingkat nasional dalam pemilihan tenaga pendidik dan kependidikan berprestasi 2013 oleh Direktoral Jenderal Pendidikan Tinggi, Kemendikbud pada Minggu (7/7) lalu di Jakarta.
Dosen Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik UGM ini menuturkan tidak menyangka apabila ia berhasil mendapat penghargaan tersebut pasalnya dia harus bersaing dengan ribuan ribuan dosen dari berbagai perguruan tinggi dari seluruh Indonesia. Namun demikian, Faisal menyampaikan rasa syukur dan mengaku penghargaan ini jadi ‘cambuk’ bagi dirinya untuk terus berkarya menghasilkan sesuatu yang bermanfaat lagi bagi masyarakat. “Soalnya sistem peringatan dini ini tidak hanya diaplikasikan di Indonesia tapi juga di luar negeri seperti di Myanmar,” kata pria kelahiran Banda Aceh, 38 tahun silam ini ditemui di Fakultas Teknik, Rabu (10/7).
Alat yang dinamakan ‘GAMA-EWS’ diakui Faisal sudah didaftarkan 5 paten dari inovasi pengembangan alat tersebut sejak dibuat tahun 2007 lalu. Bahkan sampai tahun 2013, lebih dari 100 unit alat deteksi dini longsor telah dipasang di 12 propinsi di Indonesia, bekerjasama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT), International Consortium on Landslides (ICL-UNESCO), pemerintah daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat dan perusahaan pertambangan dan perminyakan.
Gama EWS ini mampu menyelamatkan masyarakat yang tinggal di daerah rawan longsor setelah memberi peringatan sebelum terjadinya bencana. Cara kerja alat sederhana, mendeteksi jarak keretakan tanah, deformasi permukaan dan intensitas hujan untuk menentukan potensi terjadi longsor. Apabila dalam kondisi bahaya, alat akan mengirimkan sinyal sehingga sirine berbunyi sebagai bentuk peringatan dini. Ketika sirine berbunyi, masyarakat harus waspada dan melakukan evakuasi. Suara sirine terdengar hingga radius 500 meter. “Karenanya untuk pengoperasian alat dan perawatannya kita selalu libatkan masyarakat,” kata Faisal.
Kerja Siang Malam
Pembuatan alat pengintai longsor ini menurut Faisal saat ini telah menggunakan 95 persen komponen lokal. Harga tiga jenis alat deteksi longsor ini bervariasi, menyesuaikan dengan tingkat kecanggihannya. “Harganya berkisar 5 juta hingga 20-an juta rupiah,” ujarnya.
Ikhwal penemuan alat dimulai tahun 2003. Saat itu, Asean University Network (AUN) menunjuk Prof. Dwikorita Karnawati, Dosen Jurusan Teknik Geologi, membimbing empat mahasiswa program master dan doktor yang dibiayai JICA untuk meneliti longsor di Indonesia. Oleh JICA, para mahasiswa dan dosen pembimbing dikirimi lima set alat deteksi longsor buatan Jepang. Alat itu kemudian dipasang di perbukitan Menoreh, Kulon Progo, yang telah dikenal sebagai daerah rawan longsor. Hanya saja, pengoperasian alat tergolong cukup rumit. Bahkan, saat alat rusak, mereka kewalahan tidak dapat memperbaiki dan harus mengirim kembali ke Jepang, ditambah lagi harganya pun cukup mahal.
Dari pengalaman tersebut, Dwikorita berpikir jika semua alat bergantung pada negara pembuat, pengoperasiannya akan selalu sulit. Ia pun menyampaikan kegelisahan yang dirasakan kepada koleganya, Teuku Faisal Fathani, Ph.D., yang saat itu baru saja pulang dari menempuh pendidikan doktor di Tokyo Jepang tahun 2005. “Pak Faisal, kita punya alat-alat. Kan Pak Faisal ilmunya dari Jepang, coba kita bisa buat alat sendiri, tidak serumit alat dari Jepang ini, tapi teknologinya selevel,” kata Faisal menirukan Dwikorita.
Gayung bersambut. Keduanya terus berdiskusi menuangkan ide masing-masing. Secara kebetulan, ada permintaan dari Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal untuk dibuatkan alat peringatan dini bencana longsor. Kendati telah sepakat membuat alat tersebut, dalam pengerjaan ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Tiap hari Faisal membongkar dan mengutak-atik alat buatan Jepang yang sudah menjadi rongsokan. Namun, ide belum juga muncul. Satu bulan berjalan, belum ada kemajuan. Faisal mengaku bukan hal yang mudah untuk mewujudkan ide membuat alat itu. Di lain pihak, Dwikorita tetap tidak patah semangat. Ia senantiasa menyemangati Faisal agar alat yang dicita-citakan dapat segera dibuat.
Faisal lantas menggandeng seorang instrumentasi yang tengah menempuh pendidikan master di Fakultas Teknik. Mereka pun bekerja siang dan malam. Dwikorita tidak lupa memberikan idenya untuk penyempurnaan alat. Enam bulan berselang, alat deteksi generasi pertama berhasil dibuat. “Pokoknya kerja siang malam. Pernah sampai jam satu malam itu hanya duduk mikir saja sambil melihat alatnya,” kenang Faisal.
Alat generasi pertama yang dibuat masih terbilang sederhana karena hasil deteksi pergeseran dan pergerakan tanah harus dicatat secara manual dengan mendatangkan petugas ke lokasi. Berbeda dengan generasi kedua dan ketiga, data yang muncul langsung direkam dalam data memori dan dikirim langsung dengan teknologi telemetri sehingga bisa terpantau secara online melalui internet. Namun, pada prinsipnya kerja alat hampir sama.
Karya inovasi teknologi buatan Faisal ini semakin mendapat pengakuan dari dalam dan luar negeri setelah berhasil memberi peringatan pada masyarakat yang tinggal di daerah rawan longsor, sekitar 4 jam sebelum bencana longsor merusak beberapa rumah di Kabupaten Banjarnegara pada bulan November 2007. Diceritakan Faisal, alat yang awalnya bernama ektensometer ini berhasil menyelamatkan 30 penghuni rumah saat terjadi bencana longsor di Banjarnegara pada November 2007. Di daerah itu, alat tersebut sengaja dipasang untuk memantau regangan tanah maksimal 2 cm sehingga ketika hujan lebat datang dan retakan tanah melebar sejauh 2 cm, sirine pun berbunyi. Warga penghuni rumah sontak menyelamatkan diri sebelum longsor terjadi. Berikutnya, alat ikut tertimbun oleh longsor. “Masyarakat berhasil menemukannya kembali. Kita minta direlakan saja, nanti diganti yang baru. Tetapi mereka masih ingin menyimpannya, menganggap alat ini telah menyelamatkan jiwa mereka,” tuturnya.
Tahun 2012 yang lalu, kata Faisal, sistem pemantauan dan peringatan dini longsor ini telah diaplikasikan di kawasan tambang di United Mercury Group (UMG) Myanmar, dan pada tahun 2013 ini akan diaplikasikan di 8 lokasi PT. Pertamina Geothermal Energy dan 2 bendungan yang terletak di Pulau Sumatera, Jawa dan Sulawesi.
Menurut Faisal, berbagai institusi dari negara lain juga memberikan apresiasi atas keberhasilan sistem peringatan dini longsor ini. Pada tahun 2009, karya unggulan ini telah ditetapkan sebagai salah satu penelitian strategis oleh International Programe on Landslides (IPL-UNESCO), sebagai model Best Practice in Education for Sustainable Development with respect to Disaster Risk Reduction Program (No. Approval: IPL-158). Pada upacara pembukaan 2nd World Landslide Forum di FAO Headquarter Roma tanggal 3 Oktober 2011, program ini terpilih untuk menerima IPL Award for Success dari International Programme on Landslides (IPL-UNESCO). Selanjutnya dalam upacara pembukaan 10th International Symposium on Mitigation of Geo-Disasters di Kyoto-Matsue, tanggal 8 Oktober 2012, Faisal juga menerima Excellent Research Award dan Award of Appreciation karena dinilai telah banyak berkontribusi dalam kegiatan mitigasi bencana alam di Kawasan Asia.
Dari alat deteksi longsor ini pula dirinya juga menginisiasi dan terlibat aktif dalam kegiatan manajemen risiko berbagai bencana yang meliputi: tanah longsor, banjir, aliran lahar/debris, letusan gunung api, gempa dan kekeringan di berbagai daerah. Terkait penanggulangan bencana alam, ia membangun kerjasama dengan berbagai bidang keilmuan dari berbagai universitas/institusi seperti lintas bidang di UGM, International Consortium on Landslides (ICL-UNESCO), Kyoto Univ., Ehime Univ., Tsukuba Univ., Univ. of East Anglia UK, Univ. Zagreb dan Univ. Rijeka-Kroasia, Public Work Research Institute (PWRI) Jepang, Asian Institute of Technology-Thailand, China Geological Survey, University of East Anglia-UK, San Diego State University-USA, California Seismic Safety Commission-USA, dan GNS Science New Zealand. (Humas UGM/Gusti Grehenson)