Papua sangat terkenal dengan kekayaan sumberdaya alam yang melimpah. Namun, keberlimpahan sumberdaya alam tersebut bertolak belakang dengan kehidupan masyarakatnya. Lebih dari 80 persen masyarakat Papua tergolong miskin atau sangat miskin. Tingginya tingkat kemiskinan tersebut diperparah dengan keterisolasian kawasan, terutama akses menuju tempat-tempat pelayanan publik.
Infrastruktur transportasi dan komunikasi masih sangat jauh tertinggal dibanding daerah-daerah lain di wilayah Indonesia. Harga barang-barang kebutuhan pokok jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga yang berlaku di Jakarta maupun kota-kota lain di luar Papua.
Karena itu, kehadiran perguruan tinggi di daerah perbatasan, terisolir dan daerah tertinggal menjadi suatu keharusan. Ide dan gagasan Perguruan Tinggi diyakini akan mampu menjawab berbagai persoalan masyarakat yang umumnya disebabkan oleh masalah-masalah ekonomi dan kemiskinan.
Demikian disampaikan Rektor UGM, Prof. Dr. Pratikno, M.Soc., Sc pada diskusi Kelompok Kerja (Pokja) Papua Universitas Gadjah Mada bertema Memetakan Masalah dan Solusi Papua, Selasa (16/7) di ruang Multimedia.
“Sebagai Universitas Nasional, Universitas Kebudayaan, Universitas Perjuangan dan Universitas Pancasila, UGM memiliki tanggungjawab untuk itu. Sebab, UGM bukan hanya milik DIY, namun dalam mandat pendirian UGM, yang juga tercatum dalam Renstra merupakan representasi dari seluruh pelosok Indonesia”, ujarnya.
Terkait Pokja Papua di UGM, kata Rektor, merupakan wujud kepedulian UGM terhadap daerah tertinggal dan terisolir. Dengan Pokja Papua ini, diharapkan mampu memahami Papua secara interdisipliner, karena UGM memiliki 18 fakultas, 28 Pusat Studi, Sekolah Vokasi dan sekolah Pascasarjana dengan 160 program studi.
“UGM membentuk Pokja, sebetulnya tidak hanya Papua saja, tapi working group regional. Kita saat ini sedang perkuat adalah Pokja tentang Papua dan Pokja tentang perbatasan. sementara yang mulai kita rintis dari sisi sektor adalah working group untuk pangan, energi dan working untuk isu-isu strategis yang lainnya”, paparnya.
Karena itu, kehadiran Bupati Bupati Sorong Dr. Stephanus Malak, M.Si, Bupati Biak Numfor, Yusuf Melianus Maryen, S.Sos, M.M, Bupati Puncak, Willem Wandik, SE., M.Si dan staf khusus Gubernur Bangun Marpaung dalam diskusi kali ini diharapkan memberi masukan pada Tim Pokja Papua UGM. Apakah itu terkait program KKN yang pas, riset maupun pendampingan kebijakan yang penting.
“Tentu saja semua ini didasarkan pada pemahaman kami yang komprehensif, oleh karena itu forum ini dirancang untuk mendengarkan Bupati dan staf ahli Gubernur, kira-kira apa yang urgen disana. Karena UGM memiliki banyak penelitian, bukan semata-mata yang high tech, tetapi juga pengetahuan yang sangat applied dan sangat teknis”, jelas Rektor.
Bangun Marpaung, staf khusus Gubernur bidang kerjasama antar lembaga mengakui indek pendapatan masyarakat (IPM) Papua masih terendah dibanding daerah-daerah lain di Indonesia. Karena itu, ia berharap mendapatkan kualitas pendidikan dan SDM melalui pendidikan gratis dan bermutu. “Kita juga mengirim siswa-siswa untuk mengikuti program program doktor, master baik di institusi dalam maupun luar”, katanya.
Iapun berharap ada peningkatan untuk pengembangan kehidupan sosial budaya, iman dan ketaqwaan, pengembangan peranan wanita atau gender dalam berbangsa dan bernegara, pembangunan infrastruktur, kampung dan koneksitas antar daerah. Selain itu, terwujud perumahan rakyat yang berbasis adat yang berkeadilan.
Diluar agenda besar pemerintah daerah, kata Marpaung, hal sangat penting yang ingin segera dilakukan adalah merevisi UU No 21 tentang Otonomi Khusus (Otsus). Banyak pihak mungkin menilai Papua luar biasa karena memiliki UU Otsus, namun aplikasi UU ini dalam kenyataan tidak ada.
“UUnya memang bagus sekali, disebutkan tentang kewenangan Gubernur, kewenangan daerah luar biasa, tapi secara praktek tidak ada. Nah saat ini Gubernur bersama DPR sedang menggodog revisi ini, dan didalam pembahasan tahun tahun ini diharapkan DPR RI boleh merevisi kembali dengan pendekatan benar-benar di daerah. Ini adalah pekerjaan besar yang dilakukan saat ini”, tambahnya.
Kemudian isu-isu penting lainnya yang juga ingin diselesaikan adalah renegosiasi atau perpanjang kontrak karya PT. Freeport. Bagi pemerintah daerah Papua, pekerjaan ini mendasar dan sangat penting. Mengingat 46 tahun Freeport berada di Papua, namun belum memberi hasil nyata bagi masuarakat. “Jadi masih ada 17 poin yang diharapkan pemerintah untuk dipenuhi PT. Freeport, supaya mereka kembali melanjutkan pekerjaan,” sambungnya.
Hal senada disampaikan Bupati Puncak, Papua, Willem Wandik, SE., M.Si. Posisi kabupaten Puncak meski berdekatan dengan PT. Freeport, kondisinya masih tetap miskin, tertinggal dan terisolasi. Meski di tahun 2013 terlihat sedikit kemajuan karena proses pembangunan, namun daerah ini masih tetap dihadapkan pada permasalahan sosial, ekonomi, budaya, politik dan kemasyarakatan.
Drs. Bambang Purwoko, M.A selaku koordinator Pokja Papua di UGM mengatakan kondisi Papua memang sangat paradoks, memiliki sumber alam melimpah namun penduduk tetap hidup miskin. Memiliki wilayah yang sangat luas, namun semua kota di Papua sangat padat, belum lagi harga-harga yang jauh melambung dibanding daerah lain di Indonesia, harga beras 50 ribu per kilo, gula 60 ribu per kilo, bensin 50-100 ribu per liter. “Artinya masyarakat hanya mau ngumpul di titik-titik tertentu. Ini menandakan banyak daerah belum terjangkau dengan alat transportasi. Karena itu, semua proses ini akan didokumentasikan, kemudian hasil-hasil pembahasan dirumuskan untuk melakukan sesuatu di Papua”, ungkapnya. (Humas UGM/ Agung)