YOGYAKARTA – Dosen Jurusan Etnomusikologi ISI Surakarta, Aton Rustandi Mulyana, S.Sn., M.Sn., berhasil meraih gelar doktor di Program Studi Pengkajian Seni Pertujuan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana (SPs) UGM, Kamis (18/7), setelah berhasil mempertahankan disertasinya yang meneliti tentang Estetika kompleksitas dalam upacara Ngarot di Lelea Indramayu, Jawa Barat.
Dihadapan tim penguji yang diketuai Direktur SPs UGM, Prof. Dr. Hartono, promovenduz menyampaikan keramaian tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia. Di masyarakat etnik, keramaian atau sering disebuat ‘rame’, menjadi bagian dari struktur kebudayaan yang telah berakar lama. Ritus-ritus atau perayaan-perayaan kesuburan, kelahiran, hampir selalu menghadirkan keramaian termasuk di dalam kehidupan seni pertunjukan. Salah satunya upacara adat di pesisir utara Jawa Barat, yaitu Ngarot.
Ritus yang diselenggarakan oleh mayarakat tani di desa Lelea, Indramayu, Jawa Barat ini rutin dilaksanakan hampir tiap satu tahun sekali pada hari rabu diantara bulan Oktober, November atau Desember. “Upacara tersebut selalu dihubungkan dengan masa musim hujan dan aktivitas pertanian,” kata Rustandi.
Di hari istimewa itu, kata Rustandi, jenis pertunjukan seperti topeng, ronggeng ketuk, jidor atau organ tunggal, reog, genjring dihadirkan bersama jenis hiburan yang lain. “Selama perayaan berlangsung, hiruk pikuk kegiatan warga semakin menjadi,” ujarnya .
Pesta Ngarot dimulai dengan diawali acara ider-ideran atau proses arak-arakan keliling desa. Acara ini bagi masyarakat setempat diangngap penting karena tampilnya komunitas masyarakat tani Lelea di hadapan komunitas mereka. Di dalam ider-ideran memuat simbol pendukungnya, seperti penggunaan busana adat, mahkota bunga, keprabon, payung tiga lapis dengan warna kuning emas dan aneka musik arak-arakan.
Seusai ider-ideran dilanjutkan proses serah terima simbol yakni penyerahan alat-alat yang berhubungan dengan pertanian seperti air, telur, benih padi, pupuk urea, pacul dan parang, daun andong, dan daun pisang klutuk. “Serah terima dilakukan dari jajaran elit desa dengan petani penggaraf,” katanya.
Uniknya, imbuhnyam petani penggaraf diwakili oleh kedua sinoman bujang dan gadis. Pasalnya sebagian petani Lelea masih percaya apabila penanaman dilakukan oleh petani yang sudah menikah dapat mengakibatkan pertumbuhan padi tidak subur.
Proses selanjutnya, pertunjukan tiga kesenian bersama. Ruang pertunjukan sarat dengan aneka bunyi-bunyian yang berlangsung dari siang hari hingga menjelang subuh. Para penampil topeng, ronggeng ketuk, jidor tampil secara bersamaan dengan konsep ansambel yang berbeda. “Semua warga bisa terlibat bersama dan dapat memilih dan menikmati jenis seni yang dinikmati,” katanya.
Rustandi menyimpulkan, rame sebagai bagian dari ekpresi religius petani Lelea adalah produk manusia yang dijalin secara sosial dengan landasan religi kultural. Sifatnya yang evolutif, sengaja dihadirkan dengan cara dibuat kompkes dan semakin kompeks. Ngarot dan rame-nya dijadikan pengambang yang daoat meretas kekauan sementara dari dominasi dan domestifikasi dunia keseharian dan pertanian yang relatif mapan, siklis dan berulang. (Humas UGM/Gusti Grehenson)