Masalah utama dalam pengelolaan hutan jati di Jawa adalah pada sistim perencanaan hutan dan sistem pembuatan tanaman yang dilakukan tidak dapat mengakomodir perkembangan yang terjadi di lapangan. Akibatnya dari waktu ke waktu produktivitas hutan yang dikelola semakin berkurang.
Menurut Budi Widodo, Kepala Perum Perhutani KPH Banyumas Timur penurunan produktivitas terjadi sebagai akibat dari kegiatan penebangan yang dilakukan serta gangguan keamanan hutan terutama pencurian pohon. Dengan sistim pengelolaan yang dilakukan saat ini, produktivitas dalam tegakan hutan jati dalam bentuk pertumbuhan riap masih kalah cepat dengan pengurangan potensi sebagai akibat kegagalan tanaman, kerusakan hutan serta tebangan yang dilakukan.
Sementara pengaturan hasil masih berdasar pada tegakan jati saja, meskipun sebenarnya potensi jenis kayu lain maupun non kayu banyak terdapat dalam bagian hutan. “Karena itu kecenderungan monokultur dalam pengelolaan hutan jati jika dikaitkan dengan upaya peningkatan produktivitas lahan hutan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat sekitar hutan dirasa perlu untuk segera diperbaiki”, katanya di Auditorium Fakultas Kehutanan UGM, Jum’at (19/7) saat menempuh ujian terbuka program doktor ilmu kehutanan.
Budi Widodo menyatakan pengaturan hasil untuk jenis jati sebagai inti (core) dari pengelolaan hutan di Jawa, perlu untuk dilengkapi dengan pengaturan hasil untuk jenis-jenis selain jati yang ditanam. Bahwa pengaturan hasil untuk jenis lain dalam kelas perusahaan jati yang dibuat diarahkan untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, seperti kayu bakar serta untuk memberikan penghasilan antara sambil menunggu hutan jati dapat dipanen kembali.
“Dalam hal ini kelola produksi dan kelola sosial menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan. Sistim perencanaan yang mengikuti kecenderungan monokultur ini perlu disempurnakan”, jelasnya.
Ia berpendapat kegiatan perencanaan hutan yang dilakukan Perum Perhutani dalam perjalanannya mengalami kesulitan. Hal ini diakibatkan pada suatu bagian susunan kelas hutan lebih didominasi oleh kelas hutan umur muda. Karena pencurian tegakan hutan berumur tua mulai menghilang, sedangkan tanaman yang dibuat selalu gagal menjadi tegakan tua akibat perencekan yang terjadi.
Karena itu kebijakan penghitungan ketat dengan umur tebang rata, pemberlakukan umur tebang minimum, serta penurunan daur dinilai tidak membuat hutan menjadi lebih baik. Bahkan dari waktu ke waktu kondisi tegakan hutan menjadi semakin tidak normal.
Komposisi kelas hutan umur muda semakin besar, akibatnya umur rata-rata tegakan menjadi semakin berkurang. Penurunan potensi akibat gangguan keamanan berupa pencurian pohon serta kegagalan tanaman tidak dapat diatasi dengan kebijakan tersebut.
“Terus terang kebijakan tersebut hanya menguntungkan perusahaan. Jika kebijakan seperti ini tidak segera dihentikan, maka suatu saat tidak akan ditemukan tegakan jati berumur tua pada hutan-hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani”, ungkapnya saat mempertahankan desertasi “Revitalisasi Pengelolaan Hutan jati Di Jawa”. (Humas UGM/ Agung)