YOGYAKARTA – Ketersediaan dan pemerataan tenaga kesehatan khususnya di daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan serta daerah kurang diminati belum juga teratasi meski sudah banyak dilakukan inovasi kebijakan oleh pemerintah. Sejauh ini upaya yang ditempuh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan berupa kebijakan penempatan tenaga kesehatan baik secara individu dengan status PNS atau PTT, penugasan khusus maupun secara lembaga.
Salah satu inovasi yang sudah dikembangkan oleh Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM sejak 2004, berupa pendekatan kontrak berbasis lembaga (institution-based contracting out) dengan penugasan secara tim. Dari hasil penelitian studi kasus efektivitas proses contracting out yang diberlakukan di RSUD Gunungsitoli Nias dan 6 RSUD NTT diketahui pendekatan kontrak berbasis lembaga dengan pendekatan tim dapat mengatasi kelangkaan tenaga kesehatan tertentu dan meningkatkan kinerja sistem kesehatan khususnya akses dan kualitas pelayanan. “Persentase jumlah SDM, persentase kesinambungan pengiriman SDM dan ketersediaan pelayanan setiap hari ternyata hasilnya cukup baik,” kata peneliti PKMK FK UGM, dr. Dwi handono Sulistyo, M.Kes., dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Kedokteran, Senin (22/7). Bertindak sebagai promotor Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D., dan Ko-promotor Dr. dr. Tjahjono Koentjoro, MPH.
Dalam hal persentase jumlah SDM yang dikirim, baik provider untuk RSUD Gunungsitoli Nias berkisar 84,29 %, sedangkan 6 RSUD kabupaten di NTT ternyata mencapai 96,89 %. Menurut Dwi, persentase jumlah SDM di Nias yang belum mencapai 100 % disebabkan keterbatasan jumlah residen senior. Sedangkan di NTT penyebab utamanya adalah keterbatasan tenaga khususnya di bagian klinik tertentu.
Sementara dalam hal persentase kesinambungan pengiriman SDM ternyata hanya di NTT yang bisa mencapai 100 persen. Artinya pengiriman SDM tidak pernah terputus. “Di Nias, persentasenya hanya 64,52%. Artinya lebih dari sepertiga waktu contracting out tanpa pelayanan spesialistik,” kata staf Balai Pelatihan Kesehatan Yogyakarta ini.
Untuk persentase ketersediaan pelayanan setiap hari 24 jam, di 6 Rumah Sakit Umum Daerah NTT mencapai 100 %, sedangkan di Nias hanya 64,79%. “Di NTT bisa mencapai 100 % meskipun persentase jumlah SDM yang dikirim tidak 100 %,” imbuhnya.
Bahkan lewat pendekatan kontrak tim, di 6 RSUD kabupaten di NTT menunjukkan penurunan jumlah kematian ibu, neonatal, dan kasus kematian janin dan kandungan jika dibandingkan antara sebelum dengan saat dilakukan contracting out. Meskipun terbukti efektif, pendekatan kontrak tim untuk tenaga kesehatan ini tidak bisa mengatasi sepenuhnya masalah kelangkaan dan ketidakmerataan tenaga kesehatan. Oleh karena itu pendekatan kontrak berbasis individu, kontrak berbasis tim, dan kontrak berbasis lembaga yang selama ini dilakukan harus tetap dilakukan dengan mekanisme kontrak baru, yakni kontrak berbasis kinerja. “Efektifitas pelaksanaan pendekatan kontrak tim berhasil dilaksanakan di Nias dan NTT, konsep inovasi semacam itu layak untuk dikembangkan dan disempurnakan di level pusat untuk dijadikan sebagai kebijakan nasional,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)