YOGYAKARTA – Komite BPH Migas, Saryono Hadiwidjoyo, menegaskan dalam jangka pendek potensi energi terbarukan tidak dapat menggantikan energi fosil. Kendati energi terbarukan merupakan sumber utama yang mensubsitusi energi fosil pada penyediaan energi nasional di masa mendatang. “Potensi energi terbarukan cukup besar namun pemanfaatannya masih belum optimal,” kata Saryono dalam diskusi bulanan di Pusat Studi Energi (PSE) UGM belum lama ini.
Saryono menyebutkan potensi energi air, misalnya, diperkirakan mencapai 75 ribu MW sedangkan kapasitas yang sudah terpasang baru mencapai 6.848 MW. Sebagai negara yang kaya akan gunung berapi, Indonesia memiliki potensi energy panas bumi mencapai 28.636 MW namun baru dimanfaatkan 1.341 MW. Berikutnya, energi terbarukan lainnya, biomassa, diperkirakan mencapai 49 GW. “Energi baru seperti nuklir potensinya mencapai 3 GW,” katanya.
Belum dimanfaatkan potensi energi terbarukan secara optimal hingga saat ini menurut Saryono menjadi persoalan serius bagi pemerintah karena kebijakan energi nasional yang ditetapkan pemerintah pada tahun 2025 menargetkan bauran energi baru dan energi terbarukan sebesar 17 % dari energi nasional.
Sementara ini strategi pemerintah untuk meningkatkan pangsa energi baru terbarukan melalui pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi dan Pembangkit Listrik Tenaga Air. Sedangkan untuk akses energi listrik pada daerah terpencil, pulau kecil, dan daerah perbatasan melalui tenaga mikro hidro dan tenaga surya. “Untuk biomassa berbasis limbah pertanian dan sampah kota, angin, arus laut dan gelombang tengah disiapkan tahapan komersialisasinya,” katanya.
Pengamat ekonomi UGM, Rimawan Pradipto, Ph.D., mengatakan kebijakan ekonomi dan energi nasional tidak fokus pada kemandirian ekonomi dalam jangka panjang. Dia mencontohkan, sumber minyak sudah ditemukan sejak jaman Belanda namun instalasi pengolahan minyak terbatas. “Kini, cadangan minyak pasti akan habis tapi energi alternatif tidak dikembangkan,” ujarnya.
Menurutnya berbagai roadmap kemandirian energi dibuat namun tidak dilaksanakan akibat benturan kepentingan politik. Salah satunya dalam bentuk subsidi BBM yang sudah diberlakukan sejak era orde Baru dan tetap dipertahankan sampai sekarang. “”Padahal sejak 2004 negara kita net importir minyak,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)