Akibat guncangan gempa berkekuatan 6,2 SR belum lama ini, di Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Aceh Besar, telah menimbulkan korban jiwa dan memicu terjadinya bencana longsor dengan berbagai ukuran yang tersebar di sepanjang jalur patahan. Dari pengamatan langsung Dr. Teuku Faisal Fathani, dosen Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik UGM dan Dr. Wahyu Wilopo, dosen Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik UGM selama empat hari, tanggal 16 s.d 19 Juli 2013 di Aceh, disimpulkan perlu disusun rencana aksi dalam bentuk pilot project dan riset kolaborasi untuk manajemen risiko bencana.
Secara Geologi, kata Wahyu Wilopo, kejadian gempa di Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah NAD disebabkan adanya aktifasi dari segmen sesar semangko yang membelah Pulau Sumatera. Hal ini didukung dengan pusat kedalaman gempa yang cukup dangkal sekitar 10 km dari permukaan tanah.
Dengan pusat gempa di darat dan kedalaman yang cukup dangkal serta dekat dengan permukiman penduduk maka menyebabkan tingkat kerusakan akibat gempa cukup parah. “Lokasi yang paling parah terkena dampak gempa tersebar mengikuti jalur patahan yang ada yaitu tenggara–barat daya segaris dengan Danau Laut Tawar dan lebih terkonsentarasi di wilayah Kabupaten Aceh Tengah dibandingkan dengan Kabupaten Bener Meriah, meliputi Kecamatan Bebesen, Kecamatan Kute Panang, Kecamatan Ketol dan sebagian Kecamatan Silih Nara”, katanya menyampaikan laporan terkini dari Aceh melalui email.
Wahyu Wilopo mengatakan hampir semua peristiwa longsor terjadi di tebing lembah, yang berada di utara barat daya Danau Laut Tawar. Selain kontrol patahan yang ada, faktor litologi juga sangat mendukung terjadinya tanah longsor. “Berdasarkan pengamatan di lapangan terlihat litologi yang menyusun daerah tersebut terdiri dari batupasir, konglomerat, breksi dengan kandungan tuff yang sangat tinggi yang merupakan endapan kuarter gunung berapi dan belum terkompaksi secara kuat”, katanya.
Sementara itu, Faisal Fathani menambahkan mengacu pada hasil kajian geologi telah dilakukan survei khusus di lokasi bencana longsor di Desa Serempah, Kecamatan Ketol, Kab. Aceh Tengah. Pada kemiringan lereng lebih dari 70, panjang badan longsor mencapai 300-400 meter, dengan ketinggian puncak longsor sampai kaki longsoran mencapai 60-80 m.
Menurut faisal, karakteristik massa longsoran berupa tanah granuler sampai halus yang sangat loose (lepas) bercampur batu dan kerikil. Dari informasi yang disampaikan warga, tanah longsor terjadi tepat ketika gempa berlangsung. “Secara teoritis, longsoran dari massa granuler bersifat lepas dapat terjadi secara tiba-tiba (tanpa symptom tertentu) dengan jarak luncur yang jauh”, ungkap Faisal.
Dari pengamatannya di lapangan, Faisal Fathani mengungkapkan massa longsoran yang berasal dari tebing sungai sebelah kiri meluncur hingga ke dataran di sebelah kanan alur sungai. Massa longsoran ini sempat membendung Sungai Peusangan yang berada di kaki lereng yang mengakibatkan naiknya muka air di bagian hulu. Dua minggu setelah kejadian longsor, ditemukan genangan air yang cukup siginifikan di bagian hulu dari bendungan alam akibat tumpukan material longsor (landslide dam).
“Karena itu untuk mendapatkan data karakteristik tanah yang lebih akurat, kami telah mengambil sampel 2×20 kg tepat pada bidang gelincir. Uji index properties dan engineering properties tanah, akan kami lakukan di Laboratorium Mekanika Tanah Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan FT UGM serta di Laboratorium Geologi Lingkungan Jurusan Teknik Geologi FT UGM. Sedangkan analisis karakteristik dinamis earthquake induced landslide ini akan dilakukan dengan Ring Shear Test Apparatus di Disaster Prevention Research Institute (DPRI) Kyoto University, dalam kerangka kerjasama antara UGM, Kyoto University dan International Consortium on Landslides (ICL-UNESCO)”, paparnya.
Kata Faisal beberapa titik longsor dengan tipikal yang sama dengan longsor di Desa Serempah juga ditemukan di sepanjang patahan. Sungai Peusangan mengalir di pada bagian bawah bidang longsor. Hal ini dapat menimbulkan pembendungan sungai akibat tumpukan material longsor. “Jika terjadi overflow akibat kenaikan air di bagian hulu, dapat terjadi bencana banjir bandang di bagian hilir”, tuturnya.
Sebab di samping longsoran yang mengarah pada sungai, di sepanjang jalur patahan juga banyak ditemukan retakan-retakan pada jalan dan daerah sekitarnya. Kondisi ini harus segera ditangani agar kerusakan jalan tidak semakin parah akibat pembebanan lalu lintas dan infiltrasi air hujan pada retakan pada musim hujan nanti.
Oleh karena itu beberapa tindakan mitigasi yang perlu segera dilakukan, diantaranya menutup retakan-retakan yang muncul pada badan jalan yang ada di pegunungan. Penutupan retakan menggunakan material kedap air, seperti aspal. Untuk retakan-retakan di luar perkerasan jalan, dapat ditutup dengan material lempung yang dipadatkan. Tindakan ini mendesak dilakukan sebelum datangnya musim hujan yang dapat mengakibatkan kerusakan berat pada jalan, atau bahkan menyebabkan longsor dan untuk mengantisipasi terjadinya gempa susulan yang mungkin masih akan terjadi walupun magnitudenya lebih rendah yang akan memicu longsor pada daerah yang tidak stabil.
Selain itu membuat atau memperbaiki saluran drainase seiring dengan akan datangnya musim hujan pada daerah lereng/tebing yang diatasnya terdapat bangunan infrastruktur seperti jalan ataupun bangunan lainnya. Juga perlu mewaspadai potensi banjir bandang dari material longsor, terutama pada sekitar alur sungai. Apabila ditemukan massa longsoran yang membendung alur sungai, maka langkah pertama yang dilakukan adalah membuka kembali alur sungai agar tidak terjadi kenaikan muka air bagian hulu yang terlalu tinggi. Dengan demikian, risiko terjadinya banjir bandang dapat dikurangi.
“Perlu dilakukan assesmen pada daerah-daerah yang mungkin akan terjadi longsor susulan terutama daerah sepanjang patahan yang sudah mengalami gejala-gejala pergerakan seperti adanya retakan”, tambah Faisal Fathani. (Humas UGM/ Agung)