Peningkatan kasus HIV/AIDS di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, merupakan salah satu hal yang patut menjadi perhatian banyak pihak. Salah satu hal yang dianggap menjadi sumber penyebaran HIV/AIDS adalah perilaku seks berisiko. Perilaku seks berisiko merupakan suatu aktivitas seksual, terutama yang berkaitan dengan hubungan seks vaginal dan anal yang dilakukan individu dengan pasangan seksnya sehingga menjadi rentan tertular penyakit menular seksual seperti HIV/AIDS.
“Dalam hal ini pria dianggap sebagai pelaku yang cukup rentan melakukan perilaku seks berisiko karena merupakan figur yang melakukan inisiasi aktivitas seksual, sekaligus memegang pengambilan keputusan seksual,”papar Wahyu Rahardjo, pada ujian terbuka program doktor Fakultas Psikologi UGM, Kamis (25/7) di Auditorium G-100 Fakultas Psikologi UGM.
Dalam disertasinya yang berjudul Model Perilaku Seks Berisiko pada Pria, Wahyu menjelaskan kelompok pria heteroseksual serta gay dan biseksual merupakan kelompok yang juga disebut sangat rentan melakukan perilaku seks berisiko dikarenakan kecenderungan memiliki banyak pasangan seks, melakukan hubungan seks dengan orang asing, serta kecenderungan enggan menggunakan kondom saat berhubungan seks, baik vaginal maupun anal.
Beberapa hal yang dianggap memengaruhi perilaku seks berisiko adalah harga diri, hubungan orang tua-anak, kecenderungan mencari sensasi seksual, keberadaan teman sebaya yang menyimpang, dan penggunaan media pornografi.
“Tujuan penelitian ini memang untuk mengembangkan dan mengkonstruksikan model teoretis perilaku seks berisiko yang melibatkan beberapa variabel tadi,”tegas dosen Universitas Gunadarma tersebut.
Penelitian yang dilakukan Wahyu ini melibatkan 327 orang pria. Dari jumlah itu 218 orang adalah pria heteroseksual, dan 109 sisanya merupakan pria gay dan biseksual. Partisipan merupakan individu lajang, tinggal di Jakarta dan Bekasi, dengan rentang usia 18 hingga 40 tahun. Pengambilan data dilakukan di beberapa lokalisasi di Jakarta dan Bekasi, klub atau diskotik dangdut, tempat pijat plus, atau beberapa komunitas tertentu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa model modifikasi yang dikembangkan menyatakan bahwa harga diri, hubungan orang tua-anak, kecenderungan mencari sensasi seksual, teman sebaya yang menyimpang, dan penggunaan media pornografi dapat menjelaskan mengapa pria heteroseksual melakukan perilaku seks berisiko. Namun demikian secara spesifik dapat diketahui bahwa harga diri memiliki pengaruh tidak langsung terhadap perilaku seks berisiko melalui kecenderungan mencari sensasi seksual, teman sebaya yang menyimpang, dan penggunaan media pornografi.
“Artinya, tidak serta merta harga diri yang negatif membuat pria melakukan perilaku seks berisiko,”urai Wahyu.
Sedangkan pada kelompok pria gay dan biseksual, harga diri yang negatif dianggap menyebabkan pria gay dan biseksual memiliki jumlah pasangan seks yang banyak. Di sisi lain, kecenderungan mencari sensasi seksual muncul sebagai hal yang secara kuat memengaruhi dilakukannya hubungan seks anak usia dini, serta hubungan seks dengan orang asing pada pria gay dan biseksual (Humas UGM/Satria AN)