YOGYAKARTA – Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana BNPB), Syamsul Maarif, menegaskan penelitian mengenai fakta sejarah dari setiap peristiwa bencana menjadi bagian penting dalam mendukung kebijakan penanggulangan bencana yang tetap berasaskan iptek dan menghargai budaya lokal. “Suatu bencana bisa dipelajari dari sejarahnya. Setiap kejadian bencana sebagai bagian titik sejarah,” kata Syamsul Maarif saat membuka seminar internasional mengenai informasi geospasial tematik bencana yang diselenggarakan Fakultas Geografi UGM dan Badan Informasi Geospasial (BIG) di Hotel Inna Garuda Yogyakarta, Selasa (30/7).
Sejarah mengenai kejadian bencana telah diterapkan BNPB dalam penanggulangan bencana erupsi merapi. Kejadian merapi yang berlangsung secara periodik dan tanda-tanda bancana erupsi diketahui dengan adanya material berbahan zat kimia tertentu dijadikan sebagai pedoman untuk memprediksi dan mengontrol antisipasi bencana erupsi. “Seperti bencana merapi, bisa diprediksi, dipahami dan dikontrol,” katanya.
Meski demikian, penelitian mengenai sejarah dari sebuah peristiwa bencana di masa lalu tidak semua dimiliki. Menurut Syamsul, di bagian Indonesia bagian timur, faktra historis mengenai bencana sangat minim bila dibandingkan dengan kawasan Indonesia bagian Barat. “Di bagian timur lebih sedikit dengan yang di wilayah bagian barat,” imbuhnya.
Mengatasi hal tersebut, dia berharap banyak peneliti yang melakukan riset tentang sejarah suatu kejadian bencana di masa lalu sebagai masukan bagi pengambil kebijakan dalam penanggulangan bencana. Menurutnya, tiap ilmu pengetahuan memiliki eksistensi dan kunggulannya masing-masing. Namun tidak kalah penting, pengetahuan lokal masyarakat yang diperoleh dari proses yang panjang selama beradaptasi dengan fenomena alam sehingga dapat difungsikan untuk menyelesaikan persoalan kebencanaan. “Semuanya harus dapat diwariskan secara akademis dari generasi ke generasi,” ujarnya.
Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG), Dr. Asep Karsidi, mengatakan peta kebencanaan berupa informasi geospasial bisa dijadikan pedoman dalam meminimalkan risiko bencana. Namun begitu, produk peta tematik kebencanaan yang dihasilkan berbagai institusi baik berupa peta format analog maupun peta digital belum terintegrasi satu sama lain. “Dibutuhkan kebijakan satu peta untuk analisis manajemen risiko bencana,” katanya.
Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Prof. Dr. Suratman, M.Sc., menuturkan pemerintah melalui anggaran pendidikan yang sebesar 20 persen dari APBN seharusnya bisa menyisihkan sebagian anggaran untuk pengadaan peta kebencanaan. Peta tersebut diajarkan kepada siswa sejak dini untuk keperluan mitigasi bencana dan membangun masyarakat yang tanggap terhadap bencana. “Kalo Jepang mengandalkan gedung yang kokoh, Indonesia bisa mengandalkan manusianya sehingga ketika datang gempa, tsunami, dan banjir responnya tinggi dan tahu cara untuk menyelamatkan diri. Mereka butuh intelegensi spasial,” kata Suratman. (Humas UGM/Gusti Grehenson)