Ilmuwan dan peneliti bidang teknik sipil, Prof. Ir. Hardjoso Prodjopangarso meninggal dunia, Sabtu (10/8) pukul 19.30 di rumah Kota Baru, Yogyakarta. Ahli tata kelola air tradisional, Guru Besar Fakultas Teknik UGM meninggal dalam usia 90 tahun karena sakit.
Keluarga besar Universitas Gadjah Mada sangat kehilangan atas kepergian almarhum. Almarhum merupakan salah satu putra terbaik UGM yang memiliki banyak karya membanggakan yang telah di sumbangkan untuk UGM, masyarakat dan bangsa.
“Kita sangat kehilangan salah satu putra terbaik. Kalau kita mencari sosok, maka kata yang pas untuk almarhum adalah rame ing gawe, sepi ing pamrih. Karya-karya Prof. Hardjoso sangat banyak dan sangat bermanfaat, tidak hanya untuk UGM namun untuk masyarakat dan bangsa Indonesia”, kata Prof. Dr. Ir. Susamto, MSc, Ketua Majelis Guru Besar di Balairung UGM, Minggu (11/8) saat upacara pelepasan jenazah.
Dalam pandangan Ketua Majelis Guru Besar UGM, almarhum memiliki kepribadian yang sangat sederhana. Beberapa kali pihak UGM mengusulkan pada pemerintah untuk memperoleh penghargaan atas karya-karyanya, namun almarhum selalu menolak. “Kita sangat menghargai, dan banyak pesan-pesan beliau yang sangat bermanfaat. Pada tanggal 19 Februari 1971 beliau mengucap pidato pengukuhan Beberapa Cara Mendapatkan Air Minum di Indonesia, kini Indonesia dihadapkan permasalahan tersebut. Ini menunjukkan bahwa pandangan-pandangan beliau sangat visioner”, ungkap Susamto.
Sementara itu, Dekan Fakultas Teknik UGM, Prof. Dr. Ir. Panut Mulyono mengungkapkan karya-karya Prof. Hardjoso telah banyak disumbangkan pada masyarakat dan bangsa. Karya-karya tersebut antara lain karya Tripikon-S (tangki septic untuk daerah rawa) pada 1989, Subromarto (bangunan pembakaran sampah) pada 1990, Nalareksa (alat menganalisa udara) pada 1992, Ki Panca Sihir, Nyi Bunga Sihir dan Cak Kilang Sihir (alat pembersih air tanpa bahan kimia) pada kurun waktu 2001-2003, Jumantara (stasiun cuaca kecil) pada 2004, dan Laboratorium Lapangan Kawasan Teknologi Tradisional di kawasan UGM.
Dituturkan, almarhum Prof. Hardjoso mengalami masa perjuangan kemerdekaan. Ayah tujuh anak dan kakek dari sebelas cucu ini sempat menjadi Kepala Staf Korp M Brigadir 17 dengan pangkat terakhir letnan satu. Prof. Hardjoso mengalami masa-masa penuh gejolak hingga tahun 1949. “Dan di tahun 1950, ia mengalami demobilisasi perpindahan status dari militer ke sipil, dan kembali melanjutkan aktivitas sebagai mahasiswa UGM”, kata Dekan.
Suami dari Sri Saptariah, ini lahir di Solo, 9 Mei 1923, pada awalnya merupakan mahasiswa teknik perguruan tinggi milik Jepang yang bernama Kogyo Daigaku (Perguruan Tinggi Teknik Bandung). Usai Jepang menyerah kepada RI pada 1945, Hardjoso menjadi mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik Bandung di Yogyakarta yang merupakan perguruan tinggi cikal bakal Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. “Hardjoso tercatat sebagai mahasiswa sejak 1944 dan di tahun 1953 lulus dari Fakultas Teknik UGM dan beliau merupakan pemilik nomor mahasiswa 001”, tuturnya. (Humas UGM/ Agung)