YOGYAKARTA – Wayang dalam bentuknya yang sederhana merupakan karya asli anak bangsa. Wayang yang kini telah mengalami perkembangan bentuk dan cerita, dulunya hadir dari lingkungan tradisi masyarakat daerah berbeda. Namun demikian, perkembangan kreasi wayang tersebut dalam rangka untuk mengangkat kembali pamor wayang di era selera budaya massa dan budaya pop, masih ada anak muda yang menaruh minat melakukan penelitian sejarah perkembangan wayang.
Salah satunya, Zakariya Pamudji Aminullah. Mahasiswa sastra nusantara, fakultas ilmu budaya UGM, meneliti tentang wayang setanan dalam tradisi wayang Yogyakarta. Dia menemukan ada sekitar 12 macam wayang setanan Yogyakarta. Keduabelas wayang tersebut adalah bajang kerek, banaspati, gendruwo, glundung pringis, janggitan, keblak, kemamang, sirah klenting, angkrek, warung doyong, wewe dan wedon.
Menurut Zakariyah, 12 wayang yang masih disimpan di studio RRI Yogyakarta ini milik Sri Sultan HB VII pada 1877-1921 yang dihibahkan keluarga Kraton Yogyakarta pada tahun 1955. “Ada sekitar 800 koleksi wayang yang dihibahkan oleh Sri Sultan HB IX kepada RRI namun saat ini koleksinya tinggal 433 buah,” kata Zakariyah dalam kegiatan student colloquium Wayang for Humanity di PKKH UGM, Rabu (21/8).
Wayang setanan diakui zakariyah sebagai karya seni, tidak hanya dipandang sebagai hiburan semata tapi dianggap sebagai masterpiece bangsa yang memiliki nilai edukatif. “Wayang setanan ini di masa lalu digunakan untuk menuntun remaja atau penontonnya selalu memahami dan menjalankan kehidupannya dengan hati-hati, teratur dan tidak melanggar norma,” katanya.
Seperti tokoh wayang warung doyong, kata zakariyah, digambarkan sebagai hantu yang selalu merasuki orang-orang bermulut ‘kotor’ menyebarkan iri dan dengki terhadap sesama. Sementara wayang wedon, identik dengan hantu yang terbungkus kain kafan dan kedua kakinya saling bersentuhan. “Karakter wayang setanan ini menceritakan bahwa siklus kehidupannya manusia tidak dijalankan dengan baik,” katanya.
Penelitian Rias A Suharjo mengenai wayang kulit betawi mendapatkan kenyataan miris dan mengharukan. Seni tradisi ini terancam hilang. Meski masih ada seniman yang masih menjaga tradisinya.
Diketahui tradisi wayang tersebut muncul dari tradisi hikayat melayu. Meski menggunakan bahasa betawi, lagu dan musiknya khas betawi namun tatah sunggingnya cenderung kasar, dan cepeng wayang lebih bebas. “Sayangnya tradisi ini hampir tidak ada lagi. Seniman dalang betawi ini berpesan agar diperhatikan pemerintah,” kata mahasiswa Sastra Indonesia UI ini.
Dalam tradisi melayu, kata Rias, cerita wayang eksis dalam tradisi hikayat. Bahkan cerita wayang banyak menjadi inspirasi dalam penulisan teks hikayat. Terbukti dari penelurusannya di perpustakaan nasional RI, saat ini ditemukan 20-an naskah hikayat, seperti hikayat Sri Rama, Pandawa, Garebak jagat, dan hikayat pandu. “Umumnya menggunakan tulis tangan,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)