YOGYAKARTA – Dalang tidak selalu identik dengan wayang kulit atau wayang golek. Seperti yang dilakukan, Marsono, 65 tahun. Selama dua tahun ini dia berhasil menggapai cita-citanya menjadi dalang. Bahkan menjadi dalang dari wayang yang dia ciptakan sendiri. Pria asal Gunungkidul ini menggunakan lidi sebagai bahan untuk membuat wayangnya. Ia pun menyebutnya wayang sada atau wayang lidi.
Deretan tokoh wayang yang ditancapkan di atas batang pisang. Sekilas wayang tersebut mirip. Setelah lebih dekat, ternyata yang membedakan antara wayang satu dengan yang lainnya hanya lekukan lidi di atas kepala wayang. “Lekukan ini menandakan pembeda karena bisa menggambarkan mahkota atau lainnya,” kata pria asal Gunung kidul ini ditemui di sela acara pameran wayang di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM, Kamis (22/8).
Marsono bercerita, cita-citanya untuk menjadi dalang sudah ada sejak kecil namun baru bisa kesampaian di umurnya sudah berkepala enam. Dulu ia sempat ingin mengenyam sekolah dalang, namun keinginannya tersebut ditolak ayahnya karena kondisi ekonomi keluarga yang kurang mampu. “Orang tua saya harus menghidupi 11 anak anaknya,” kata anak keempat ini.
Keterbatasan ekonomi ini pula yang membatasi keinginan Marsono kecil untuk bisa membeli wayang. Marsono pun tidak kehilangan ide. Dia pun membuat wayang dari daun ketela dan rumput. Sayang, bila sudah layu, mainan wayang buatannya itu pun tidak bisa dimainkan lagi.
Marsono coba membuat wayang yang bisa digunakan lebih lama dengan bahan yang mudah didapat dan murah. Semua bahan pun sudah pernah ia coba. Puluhan tahun ia pun tidak pernah mendapatkan ide. Hingga akhirnya ide itu pun muncul sekitar dua tahun lalu, september 2011. “Saya berhasil buat wayang dari lidi,” katanya.
Lidi dari daun kelapa ini kemudian dia anyam menyerupai gambar wayang. Untuk mengikatnya, dia menggunakan seutas tali serabut kelapa dengan dihiasi pernik dari batok tempurung kelapa.
Sejak pertama kali dibuat, Marsono mengaku sudah sepuluh kali pentas. Kebanyakan diundang untuk memeriahkan undangan acara kantor dan undangan dari masyarakat sekitar rumahnya. Marsono mengaku tidak menetapkan tarif untuk tiap kali pentas. Padahal untuk setiap kali pentas, marsono membawa kru sebanyak 10 orang termasuk dua orang sinden, penabuh gamelan dan penabuh gendang. “Saya juga sering diundang ke luar daerah,” katanya
Lain halnya dengan Ledjar subroto, 75 tahun. Seniman dalang wayang kancil ini masih menekuni profesinya. Wayang yang menampilkan tokoh mirip gambar hewan ini selalu menempatkan kancil sebagai tokoh utama di setiap ceritanya. Umumnya wayang kancil ini selalu menampilkan cerita wayang tentang kehidupan hewan dan manusia dalam melestarikan lingkungan.
Wayang kancil yang dibuatnya tahun 80-an, saat ini sudah jarang pentas. Meski permintaan pentas minim, tapi ledjar bersyukur ia sering diundang ke luar negeri. “Justru orang luar mengapresiasi. Baru-baru ini saya baru pulang setelah pentas di Belanda. Cucu saya yang meneruskan wayang kancil ini sedang pentas 3 minggu di Jepang,” katanya.
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X, mengatakan wayang menjadi karya agung anak bangsa yang diakui dunia. Wayang sebagai hasil kresi seni luar biasa ini mampu memberikan pendidikan dan nilai moral pada masyarakat. Namun kemajuan Teknologi informasi dan komunikasi telah mempengaruhi perkembangan wayang. Oleh karena itu, ia mengharapkan masyarakat dan perguruan tinggi terus melestarikan wayang. “Wayang tidak sekedar seni pertunjukan tapi ekpresi dan identitas masyarakat khususnya jawa,” kata Sultan dalam sambutannya dalam pembukaan pameran wayang yang dibacakan oleh Wakil Gubernur DIY Sri Pakualam IX. (Humas UGM/Gusti Grehenson)