Persoalan transmigrasi di Indonesia diharapkan tidak hanya fokus pada sektor pertanian saja sehingga akan lebih berkembang. Selain itu perlu ada perubahan paradigma bahwa transmigrasi bukan semata-mata mobilisasi massa dalam jumlah besar ke luar daerah namun lebih didasarkan pada faktor sukarela. Hal ini ditegaskan oleh peneliti masalah kependudukan dari Fakultas Geografi UGM, Dr. Sukamdi, M.Sc pada Diskusi Reorientasi Konsep dan Program Transmigrasi kerjasama LPPM dengan Kementerian Tenagakerja dan Transmigrasi di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK), Jumat (23/8).
“Sepertinya persoalan transmigrasi tidak bisa lepas dari masalah pertanian. Padahal kalau kita lihat di luar Jawa banyak konflik yang menyangkut pertanahan ini,”kata Sukamdi.
Selain perubahan konsep migrasi tersebut, Sukamdi menilai secara kelembagaan transmigrasi juga masih menyisakan persoalan. Dalam pandangan Sukamdi secara kelembagaan seakan-akan transmigrasi bisa ditempatkan di departemen mana saja. Padahal, transmigrasi seharusnya memiliki posisi dan otoritas yang lebih penting secara kelembagaan.
“Dilihat dari sejarahnya tadi khan seolah-olah transmigrasi ini bisa ditempatkan di departemen mana saja. Ini yang harus dirubah,”harapnya.
Sementara itu Ir. M. Muljadi Moehsin, MCRP selaku Direktur Perencanaan Teknis Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Kemenakertrans mengakui ada penurunan jumlah transmigran yang diberangkatkan khususnya sejak era reformasi tahun 1998. Muljadi menjelaskan jika di era pembangunan orde baru rata-rata transmigran yang dikirim mencapai 50-125 ribu kepala keluarga (KK) tiap tahun, maka saat ini hanya sekitar 7-10 ribu KK tiap tahunnya.
“Dulu memang transmigrasi sempat mencapai kejayaan tetapi kemudian surut di era reformasi sampai saat ini,”tegas Muljadi.
Muljadi menilai melalui transmigrasi penyebaran penduduk telah merata dilakukan dari Sabang-Merauke. Bahkan, sampai tahun 2011 lalu telah terbentuk 1 ibukota propinsi, 103 ibukota kabupaten dan 2 kota baru di luar Jawa, 382 eks UPT telah menjadi ibukota kecamatan, 1183 desa yang melibatkan penduduk sekitar 2,2 juta keluarga penempatan secara langsung dan berkembang menjadi sekitar 27 juta orang transmigran beserta anak keturunannya.
“Selain itu juga telah terwujud kantong-kantong (sentra) produksi komoditas pangan dan perkebunan di kawasan transmigran,”imbuhnya (Humas UGM/Satria AN)