YOGYAKARTA – Dari 385.638 anggota Polri, terdapat 2.902 perwira dan 20.392 Bintara, atau 6,04 % anggota polri yang melakukan pelanggaran. Meski yang melakukan pelanggaran hanya sebagian kecil anggota Polri namun pandangan masyarakat terhadap kultur Polri masih belum baik. Pasalnya konstruksi kultur organisasi tak dilaksanakan secara baik di lembaga pendidikan pembentukan milik Polri. “Telah terjadi kegagalan produksi di pabrik aktor Polri,” kata Staf Akpol Semarang, Jateng, AKBP Barito Mulyo Ratmono, yang dinyatakan berhak atas gelar doktor setelah menjalani ujian promosi di Sekolah Pascasarjana UGM, Sabtu (24/8).
Melalui disertasi ‘Membaca Ulang Kultur Polri (Sebuah refleksi kritis dari dalam)’, Barito antara lain menyimpulkan, praktik hegemoni dalam kultur Polri telah memunculkan gagasan, perilaku dan tindakan sebagian aktor-aktor yang tidak sesuai dengan nilai, norma, dan simbolisasi normatif Polri.”Praktik hegemoni tersebut telah terjadi sejak di lembaga pendidikan pembentukan yang merupakan pabrik aktor Polri sampai dengan arena-arena pelaksanaan tugas pokok kepolisian,” jelas Kasubbag Evadasi Bag Bindik Dit Akademik Akpol ini.
Struktur pertarungan kepentingan, motivasi, dan pembiaran Negara yang menyebabkan aktor Polri melakukan pelanggaran. Pertarungan kepentingan terjadi terjadi karena setiap aktor memiliki pengetahuan tentang praktik-praktik kepolisian, kekuasaan dan kondisi kesejahteraan yang belum mengimbangi kebutuhan hidup anggota Polri.
Pengetahuan dan kekuasaan yang sedemikian besar tersebut juga tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan sehingga mempengaruhi motivasi setiap aktor Polri memunculkan gagasan, perilaku dan tindakan yang tidak sesuai dengan nilai norma dan simbolisisasi normatif Polri.
Kendati demikian, jika aktor yang melakukan pelanggaran berada pada kondisi kesadaraan diskursif maka akan sulit melakukan perubahan terhadap gagasan dan praktik menyimpang mereka. “Tapi ada juga aktor yang melakukan pelanggaran karena kesadaran praktis dan kognitis tidak sadar atau karena menjadi bagian dari sebuah struktur penyimpangan,” ungkapnya.
Untuk mengurangi penyimpangan ini, menurutnya organisasi harus memiliki komimen kuat untuk meniadakan struktur penyimpangan dengan tidak menyediakan ‘arena’ yang dapat dimainkan oleh aktor Polri untuk melakukan pelanggaran. Oleh karena itu, menurutnya aktor-aktor Polri harus tetap memiliki motivasi yang baik meskipun sedemikian besar pengaruh dari luar organisasi Polri. “Kuasa dan pengetahuan yang melekat pada diri agensi Polri harus sesuai dengan nilai, norma dan simbolisasi normatif Polri,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)