Pemanasan global dan polusi lingkungan khususnya polusi udara yang semakin menghantui kehidupan, semestinya mendapat jawaban. Salah satunya dengan mengembangkan obat bahan alam. Saat ini, dengan bukti-bukti nyata banyaknya efek samping obat sintetis hingga harga yang tidak terjangkau masyarakat, menjadi sangat penting upaya mendorong dan mempercepat program pengembangan obat alam di Indonesia.
“Berbagai relief yang terpampang di Candi Borobudur, Candi Prambanan dan heritage lain memperlihatkan, bahwa nenek moyang kita telah mengembangkan, memelihara dan sangat mencintai alam sejak dahulu kala. karena itu, dukungan pemerintah dan pelaku bisnis dalam bentuk dana, tenaga ahli dan sarana penelitian sangat diperlukan dalam program percepatan ini agar mampu meningkatkan kualitas penelitian dan pemasaran obat bahan alam tersebut”, ujar Prof. Dr. dr. Nyoman Kertia, Sp.PD-KR di ruang Balai Senat UGM, Senin (26/8).
Dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Kedokteran UGM, Nyoman Kertia mengucap pidato berjudul “Renaissance Pengembangan Obat Bahan Alam Untuk Mendukung Tri Hita Karana Dalam Mencapai Hamemayu Hayuning Bawana”. Dalam pidatonya, Kepala Sub. Bagian Reumatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran UGM/ RSUP. Dr. Sardjito, berharap kalangan akademisi mestinya tanggap dan turut berperan dalam mengembangkan obat bahan alam dengan meningkatkan ilmu, memperluas pendidikan obat alam dan penelitian di bidang ini. “Demikian pula dengan masyarakat, mestinya tidak tinggal diam dan harus bergerak bersama dalam menanam dan memasarkan tanaman obat dan obat bahan alam”, katanya.
Diantara tiga model terapi obat alam, terapi alternatif, terapi komplementer dan terapi konvensional, kata Nyoman Kertia, model terapi komplementer paling banyak diterapkan di masyarakat. Sebab dalam terapi komplementer, obat alam dipergunakan mendampingi terapi konvensional, karena mampu mengurangi dosis dan efek obat konvensional.
Sedangkan pada terapi alternatif, obat alam terpisah dengan obat konvensional. Terapi alternatif ini menjadi pilihan bagi pasien dan keluarga karena obat konvensional dinilai memberi manfaat kecil, mudah menimbulkan efek samping dan harga yang tidak terjangkau. Model ini sering diterapkan pada pasien kanker dan penyakit kronik.
“Sementara itu, sebagai terapi konvensional, obat alam bisa berdiri sendiri. Dalam terapi konvensional, obat bahan alam telah melalui uji klinis dan terbukti tidak lebih jelek dibandingkan obat konvensional dari segi manfaat dan efek samping dan obat bahan alam dalam terapi konvensional ini, sudah dapat digolongkan sebagai fitofarmaka”, papar Nyoman Kertia.
Data memberi bukti mencengangkan, lebih dari 120 macam obat konvensional berasal dari bahan alam. Sebagai contoh, kasus kardivaskular (digoxin) yang biasa dipergunakan untuk meningkatkan kekuatan jantung ternyata berasal dari tanaman Digitalis purpurea dan antropin untuk mempercepat denyut jantung berasal dari tanaman Atropa belladona. Pada pengobatan penyakit kanker (Taxol) yang biasa dipergunakan untuk menekan proliferasi sel kanker ternyata berasal dari tanaman Catharantus roseus.
Pada pengobatan serangan gout akut atau penyakit asam urat akut (kolkisin) yang hingga kini masih menjadi pilihan utama di dunia medis, ternyata berasal dari tanaman Colchicum autumnale. untuk pengobatan nyeri hebat, morfin yang sering dipergunakan ternyata berasal dari tanaman Opium.
“Masih banyak lagi contoh-contoh obat konvensional yang sesungguhnya berasal dari obat bahan alam yang sangat banyak digunakan di Indonesia. Data memperlihatkan di pedesaan dan di perkotaan yang pernah mengkonsumsi jamu sebanyak 59,12 persen dan sebanyak 95,60 persen telah merasakan manfaatnya”, ungkap Nyoman Kertia. (Humas UGM/ Agung)