Indonesia terletak di daerah tropis dan dikelilingi oleh lautan. Oleh karenanya, Indonesia termasuk negara yang memiliki kepadatan sambaran petir yang tinggi. Karena berada di daerah tropis, Indonesia termasuk salah satu diantara tiga “daerah petir” yang terbesar selain Afrika Tengah dan lembah sungai Arizona.
“Namun, hingga saat ini belum banyak dilakukan penelitian petir secara luas dan mendalam di daerah tropis, padahal frekuensi petir di Indonesia sangat tinggi”, kata Prof. Dr. Ir. Tarcicius Haryono, M.Sc di ruang Balai Senat UGM, Kamis (29/8) saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Teknik Elektro, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.
Tingginya frekuensi petir, kata Haryono, dapat dilihat dari hari guruh per tahun yang dicatat di stasiun-stasiun meteorologi. Ada stasiun mencatat 30 hari guruh per tahun dan ada pula yang mencatat hingga 200 hari guruh per tahun. Sehingga berbicara tentang kepadatan petir, kepadatan petir di Indonesia jauh lebih besar dibanding dengan kepadatan petir di Eropa dan di Jepang.
“Kepadatan petir di Indonesia bervariasi antara 5 sampai dengan 15 sambaran petir per kilometer persegi per tahun, sedang di eropa dan jepang hanya berkisar antara 1 sampai dengan 3 petir per kilometer persegi per tahun”, katanya.
Berada di daerah ekuatorial yang menerima insolasi dalam jumlah besar dengan hampir 70 persen wilayah merupakan perairan, Indonesia memiliki penguapan atau jumlah uap air yang besar. Dari tiga wilayah ekuator, seperti ekuator Afrika, ekuator Indonesia dan ekuator Amerika, maka Indonesia merupakan daerah konvektif paling aktif, sehingga tiga persyaratan terbentuknya awan petir mudah terpenuhi.
“Udara lembab dalam lapisan tebal 3 km, adanya insolasi yang memanasi permukaan tanah dan udara di atasnya serta atmosfer yang tidak stabil secara konvektif atau ada gaya apung termal bernilai positif adalah syarat yang bisa terpenuhi. sehingga tidak mengherankan jika jumlah hari guruh di Indonesia bisa mencapai 100 atau lebih per tahunnya”, jelas suami Dra. Christina Sri Iswari Gunartiningsih.
Menyampaikan pidato pengukuhan Alat Perlindungan Peralatan Lisrik dan Bangunan Terhadap Sambaran Petir, Haryono mengakui petir dapat menimbulkan bencana langsung atau tidak langsung. Bencana-bencana tersebut dapat berupa cedera atau meninggalnya manusia secara mengerikan, hancurnya bangunan ataupun gangguan sistem tenaga listrik. Bisa pula menimbulkan kerusakan perangkat alat-alat elektronika, bagian pesawat terbang, terbakarnya tangki-tangki gas atau minyak, terbakarnya hutan dan lain-lain.
Untuk itu, katanya, perlu peralatan arester sebagai pelindung peralatan dari kerusakan karena petir. Perlindungan peralatan listrik terhadap tegangan karena sambaran petir, ini diberikan arester yang memiliki dua ujung terminal dan dipasang dengan alat yang dilindunginya. Dewasa ini, ada dua jenis arester yang digunakan di sistem tenaga listrik, yaitu arester SiC (silicon carbide) dan srester ZnO (seng oksida).
“Saat ini penggunaan arester ZnO berkembang semakin pesat dan meluas. Karena watak perlindungan terhadap bahaya kerusakan karena sambaran petir lebih baik dibanding perlindungan yang dijalankan oleh arester SiC”, tandas dosen Jurusan Teknik Elektro dan Teknologi Informasi, FT UGM. (Humas UGM/ Agung)