Melemahnya nilai tukar rupiah saat ini dinilai akan menguntungkan pengusaha (kapital). Di sisi lain paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah juga tidak sepadan dengan persoalan yang dihadapi sehingga melemahnya rupiah diprediksi masih akan berlangsung lama. Pengamat ekonomi dari Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Revrisond Baswir menjelaskan pelemahan rupiah terjadi bukan semata-mata karena persoalan internasional tetapi juga domestik (dalam negeri).
“Melihatnya jangan hanya digeser ke masalah internasional saja, tapi perlu dilihat faktor domestiknya,”kata Revrisond, Kamis (29/8) di Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM.
Revrisond melihat selain melemahnya rupiah terjadinya triple deficit, yakni neraca perdagangan, neraca transaksi berjalan, dan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga masih akan terjadi. Defisit APBN kian melebar meskipun pemerintah sempat mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi subsidi dan menaikan harga BBM beberapa waktu lalu.
“Ujung-ujungnya terjadi pelemahan rupiah ini. Jadi saya lihat belum ada obat mujarab untuk segera mengatasi persoalan,”katanya.
Seperti halnya terjadi pada tahun 1998 (reformasi) maupun 2007 (krisis ekonomi), Revrisond menilai ada pelemahan peran negara baik secara politis maupun ekonomi. Peran negara telah diambil alih oleh pengusaha yang saat ini telah berkuasa di banyak sektor publik. Dampak kapitalisasi pun akhirnya terjadi seperti kasus privatisasi BUMN, penjualan Indosat hingga dikuasainya kebun-kebun kelapa sawit oleh asing.
“Rupiah melemah yang untung pengusaha karena tentu akan semakin banyak jumlah nominal rupiah yang dikuasai khan,”kata Revrisond.
Berkuasanya pengusaha di berbagai sektor ini menyebabkan perbaikan ekonomi yang dilakukan oleh Depkeu, BI, maupun OJK tidak efektif. Para pengusaha yang berkuasa tersebut akan berusaha melindungi kepentingannya dan mengorbankan kepentingan negara yang lebih besar dalam melakukan perbaikan ekonomi (Humas UGM/Satria)