YOGYAKARTA – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI, Prof. Dr. Mahfud MD., mengaku prihatin atas sikap intoleransi yang dilakukan oleh organisasi massa dan sekelompok warga kepada kelompok minoritas. Menurutnya sikap tersebut tidak sesuai dengan semangat untuk membangun Indonesia yang damai dan toleran. “Banyak orang bersikap intoleran. Merasa tidak sama dengan mereka, dianggap musuh,” kata Mahfud dalam sarasehan nasional memperingatai Dies Natalis ke-50 Fakultas Geografi UGM bertempat di ruang auditorium Merapi Fakultas Geografi, Sabtu (31/8).
Menurut Mahfud, perbedaan yang ada dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia adalah sebuah anugerah. Lewat perbedaan itu seharusnya semua orang mestinya diajak untuk berlomba-lomba berbuat kebaikan kepada satu sama lain, bukan justru saling mendiskriminasi dan melakukan penodaan pada kelompok minoritas.
Keberadaan Undang-undang Penodaan Agama menurut Mahfud merupakan sebuah solusi untuk mencegah kasus penodaaan agama. Bahkan diharapkan bisa mengatur kehidupan beragama yang lebih baik. “Justru itu untuk mengatur. Setiap kasus penodaan agama, jangan lagi diserahkan pada aksi massa untuk menyelesaikan tapi serahkan pada pengadilan untuk diproses secara hukum,” ujarnya.
Meski beberapa kasus penodaan agama dan diskriminasi pada kelompok minoritas, menurut mahfud di Indonesia akhir-akhir ini tidak lebih dari 20 kasus. Namun begitu, menurutnya, penyelesaian kasus penodaan agama tersebut juga diselesaikan oleh kelompok islam sendiri. “Kasusnya hanya 20, justru orang islam yang membela,” imbuhnya.
Kepala Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM, Prof. Dr. Sudjito, SH., M.Si., mengatakan masih adanya persoalan intoleransi disebabkan masih adanya sebagian komponen bangsa yang memandang sebelah mata Pancasila. “Kesadaran bahwa Pancasila dengan segenap nilai-nilai yang terkandung di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara , sengaja atau tidak, digantikan dengan faham lain,” kata Guru Besar Ilmu Hukum UGM ini.
Sementara, Mantan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Adi Sasono, mengatakan persoalan yan dihadapi bangsa Indonesia saat ini bukanlah sekedar masalah persatuan ataupun persoalan demokrasi prosedural melainkan perkara ketidakadilan sosial. “Kita telah belajar bahwa sekedar demokrasi politik tidak serta merta membawa kesejahteraan sosial,” ungkapnya.
Menurutnya dikotomi kaya dan miskin harus dipandang sebagai tantangan serius. Pasalnya 20 persen penduduk di negara maju menguasai 80 % sumber ekonomi dunia, sementara 80 % penduduk dunia hanya memperoleh 20% saja, “Kesenjangan ini menjadi persolan besar umat manusia,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)