YOGYAKARTA – Tantangan kebijakan hubungan politik luar negeri Indonesia di masa mendatang sangat tergantung pada stabilitas politik dalam negeri pasca pemilu 2014, kondisi ekonomi dan penyelesaian masalah perbatasan dengan tetangga khususnya dengan Malaysia dan Timor Leste, serta peran Indonesia dalam organisasai ASEAN, APEC serta G-20.
Guru Besar Bidang Hubungan Internasional UGM, Prof. Dr. Yahya Muhaimin, mengatakan kebijakan politik luar negeri sebuah Negara membutuhkan dukungan stabilitas politik dari dalam negeri, kendati dalam pelaksanaannya prinsip politik luar negeri bebas-aktif Indonesia dalam praktiknya selalu berbeda di setiap periode kepemerintahan. “Kenyataannya sampai saat ini mengalami pelaksanaan yang bervariasi dan mengalami dinamika,” kata Yahya Muhaimin saat menjadi pembicara kunci dalam seminar refleksi 65 tahun Hubungan Politik Luar Negeri RI Bebas-Aktif di ruang Balai senat UGM, Senin (2/9).
Kendati setiap pemimpin negara mengakui kebijakan politik luar negeri yang mereka laksanakan menganut prinsip bebas dan aktif, namun pada kenyataan tidak sesuai dengan prinsip yang dianut. “Sekarno yang anti barat mengganggap itu politik bebas aktif. Demikian juga Soeharto, memutus hubungan dengan Cina kemudian menjalin hubungan baik dengan barat,” imbuhnya.
Diakui Yahya Muhaimin, memang agak sulit dan muskil menemukan rumusan yang ideal dalam pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif karena pada tataran praktisnya tetap saja berbentur pada kepentingan pemimpin negara. “Di era sekarang ini menganut kultur politik Jawa, mengedepankan harmoni, dekat dan baik-baik saja. Tetap saja banyak kepentingan di dalamnya,” katanya.
Namun demikian, kata Muhaimin, faktor stabilitas politik dalam negeri, ideologi politik kepala Negara, dan konfigurasi politik internasional mempengaruhi praktik politik luar negeri Indonesia yang mengakui prinsip bebas-aktif sejak dicetuskan oleh wakil presiden Mohammad Hatta pada 2 september 1948.
Pengamat hubungan luar negeri dari Metropolitan Universitas Prague, Republik ceko, Dr. Daniel Novotny, mengatakan kebijakan politik luar negeri yang bebas dan aktif Indonesia mengalami perubahan dari waktu ke waktu, menyesuaikan kepentingan nasional. “Pelaksanaan prinsip bebas aktif dipengaruhi oleh perubahan rezim, setiap para pemimpin Indonesia memiliki ide mereka sendiri bagaimana menafsirkan dan menerapkannya,” katanya.
Yang menarik, kata Daniel, sikap elit politik Indonesia saat ini tengah menghadapi tekanan kompetisi strategis antara Amerika Serikat dan Cina. Menurutnya, Pemerintah Indonesia semakin rentan terhadap tekanan Beijing terkait persetujuan Jakarta atas penempatan milter Amerika di kawasan Asia Tenggara. Sementara Indonesia tetap menjalin hubungan dengan Cina untuk kerjasama ekonomi. “Keadaan ini memerlukan sebuah pengelolaan yang cermat dari hubungan politik luar negeri Indonesia,” ujarnya.
Sedangkan Dosen Jurusan Hubungan Internasional UGM, Dr. Siti Muti’ah Setiawati, menyoroti keberadaan Indonesia dalam keanggotan G-20 belum tentu menguntungkan apabila tidak melakukan diplomasi yang seimbang dengan Negara-negara maju yang merupakan anggota mayoritasnya. “Indonesia bisa hanya menjadi obyek jika tidak tidak memanfaatkan peluang,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)