YOGYAKARTA – Dua orang Guru Besar UGM, Prof. Dr. Sofian effendi, MPIA dan Prof. Dr. Maria SW Sumardjono, didikukuhkan sebagai anggota baru Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) di Balai Senat UGM, Selasa (3/9). Sebagai anggota baru wadah perkumpulan ilmuwan Indonesia ini, mereka menyampaikan kuliah inaugurasi di hadapan akademisi dan anggota AIPI. Selain Sofian Effendi dan Maria SW, satu anggota baru lainnya yang dikukuhkan adalah Mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. Amin Abdullah.
Kepada wartawan, Sofian Effendi mengatakan penyampaian kuliah inaugurasi bagi anggota baru AIPI bertujuan menyampaikan pandangan akademik mereka dalam memberikan solusi mengenai persoalan bangsa. “Kita bertiga menyampaikan pandangan masing-masing di hadapan masyarakat akademik AIPI,” kata Mantan Rektor UGM ini.
Sofian menuturkan dirinya menyampaikan pandangannya mengenai peluang bonus demografi sebagai salah satu kekuatan dan keunggulan bangsa untuk membangun industrialisasi. “Kita sedang mendapatkan peluang demografis sangat penting yang hanya terjadi sekali saja dalam sejarah,” ujarnya,
Pada dua dekade mendatang, 2010-2030, kata Sofian, penduduk produktif usia 16-64 tahun diprediksi berjumlah 152,7 juta atau 67 persen dari total penduduk. Oleh karena itu, Indonesia harus meningkatkan investasi bidang pendidikan dan pelayanan kesehatan. Pasalnya, hampir 70 persen penduduk hanya menamatkan pendidikan sekolah dasar. “Hanya 5-6 persen masyarakat dari keluarga kurang mampu yang menikmati subsidi pendidikan. Sebaliknya 96 % keluarga mampu menikmati pendidikan tinggi,” ujar dosen jurusan Administrasi Negara Fisipol UGM ini.
Untuk menghasilkan SDM yang berpendidikan dan berketerampilan tinggi, tambah Sofian, dibutuhkan peningkatan daya tampung, mutu dan relevansi dari 3.400 Perguruan tinggi yang saat ini hanya mampu menampung 5 juta mahasiswa atau 1.500 mahasiwa per satu perguruan tinggi. “Daya tampung Perguruan Tinggi termasuk Akademi Komunitas harus ditingkatkan daya tampungnya 2 kali lipat,” ujarnya.
Sementara Prof. Dr. Maria SW lebih menyoroti keprihatinannya mengenai penurunan kualitas penyusunan kebijakan pemerintah dalam peraturan perundang-undangan. Menurutnya penyusunan UU saat ini lebih bersifat teknis dibandingkan substansi. “Bahkan lebih bersifat reaktif, pragmatis dan transaksional,” katanya.
Penyusunan sebuah peraturan hukum, kata Maria, setidaknya harus memenuhi tiga syarat utama, pertama, adil. Kedua, adanya kepastian hukum berkeadilan dan ketiga, bermanfaat bagi masyarakat.
Selain itu, Dosen Hukum Agraria Fakultas Hukum UGM ini menambahkan pengelolaan sumber daya alam seharusnya dikelola oleh negara yang kemudian keuntungannya diperuntukan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Namun dalam UU Pengelolaan SDA diserahan kepada investor sehingga yang terjadi masyarakat yang ada di daerah sekitar lokasi yang dieksploitasi tetap saja hidup miskin. “Saya mengusulkan dibutuhkan keadilan yang bersifat korektif. Supaya yang di bawah bisa sejahtera. Setiap pembuatan UU harus dilandaskan semangat konstitusi yang menjadi prinsip dasar,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)