Pemuda kampung Sangkrah, Solo telah lama dikonstruksikan sebagai pemuda nakal, miskin , tidak berpendidikan. Dalam kesehariannya mereka tak pernah lepas dengan kebiasaan mengkonsumsi minuman keras dan melakukan tindak kriminal.
“Konstruksi negatif tentang mereka telah terbentuk kuat,” ucap Drs. Subando Agus Margono, M.Si, Rabu (4/9) di Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Namun demikian, Subando mengatakan bahwa dibalik segala cap negatif tersebut pemuda Sangkrah ingin diakui sebagai warga masyarakat pada umumnya. Mereka terus mencoba mengelola fleksibilitas dilema yang dihadapi denganmengkonstruksi identitas khas kampung Sangkrah. Hal tersebut dilakukan dengan menampilkan representasi mendua, selalu antagonostik namun afiliatif.
“Cah Ampera ternyata menegosiasikan posisi kewargaan mereka melalui sisi antagonistik sekaligus afiliatif karena kekuatan identitas cah Ampera justru dikonstruksikan melalui ciri keamperaan yang selama ini justru menjebak mereka,”paparnya saat mempertahankan disertasi berjudul “Negosisai Kewargaan cah Ampera di Solo” di hadapan tim penguji.
Hasil penelitian lainnya memperlihatkan cah Ampera merupakan sosok yang meniliki otonomi, kemandirian, kematangan, dan keberanian mengambil risiko dalam situasi terstigma dan miskin. Selain itu, Cah Ampera yang tidak berpendidikan dan tanpa bekal keterampilan berhasil menunjukkan fleksibilitas dalam mencari kerja.
“Mereka tidak mau menjadi orang kedua dalam bekera. Prinsip itu menjai ciri profesionalisme pemuda Sangkrah ketika negara pun tidak menempatkannya sebagai bagian dari kerja birokrasi yang harus diberdayakan dan diberi akses yang sama,”uraistaf pengajar Jurusan Manejemen dan Kebijakan Publik FISIPOL UGM ini.
Subando menambahkan pemuda Sangkrah sebagai cah Ampera merupakan pemuda yang mampu menjembatani patologi, pengelolaan risiko hingga berperan menjadi aktor dalam kesatuan sosok utuh dalam reposisi kewargaan. (Humas UGM/Ika)