YOGYAKARTA – Kecemburuan ekonomi, sosial dan budaya ditenggarai menjadi persoalan besar yang dihadapi pemerintah dalam mensukseskan pelaksanaan program transmigrasi pasca era reformasi dan otonomi daerah. Bahkan jumlah transmigran yang dikirim menurun dratis dibandingkan di era Orde Baru, akibat masih adanya penolakan masyarakat lokal. Hingga sampai saat ini, sekitar 31 kabupaten, 382 kecamatan dan 1.183 desa yang telah dijadikan lokasi tujuan transmigrasi.
Demikian yang mengemuka dalam diskusi ‘Dimensi Sosial Budaya dalam Kebijakan Transmigrasi’, hasil kerjasama LPPM UGM dan Kementerian Transmigrasi dan Tenaga Kerja (Kemenakertrans) RI di ruang sidang utama LPPM, Kamis (5/9). Hadir sebagai pembicara, Ketua LPPM UGM Prof. Dr. Suratman, M.Sc., Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM Dr. Aprinus Salam, Staf Direktorart Peningkatan SDM dan Masyarakat, Kemenakertrans, Ir. Marianto Poernomo, M.Si.
Ketua LPPM, Prof. Dr. Suratman, M.Sc., mengatakan kebijakan transmigrasi harus dikelola menjadi lebih baik lagi oleh pemerintah di masa mendatang. Pasalnya, ketimpangan infrastuktur dan akses ekonomi antara Jawa dan Luar jawa, menjadikan program transmigrasi masih sangat dibutuhkan untuk melakukan pemerataan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan penduduk sekitar. “Jangan sampai program tansmigrasi mandeg karena ada konflik sosial, budaya dan etnis,” ujarnya.
Menurut Suratman, kendala sosial budaya antara transmigran dengan penduduk lokal seharusnya bisa dikomunikasikan. Dia menyayuangkan banyak para transmigran yang pulang ke daerah asal hanya karena komunikasi sosial budaya dengan penduduk asli tidak jalan. “Perlu dikembangkan modal sosial dan budaya masyarakat setempat,” katanya.
Belum optimalnya kebijakan kependudukan lewat program transmigrasi diakui Suratman bisa merugikan potensi bonus demografi yang dimiliki Indonesi saat ini. Lebih dari itu, transmigrasi bertujuan untuk pemerataan pembangunan yang tidak lagi berpusat di pulau Jawa.
Kepala Pusat Studi Kebudayaan (PSK) UGM, Dr. Aprinus Salam, mengatakan di masa kolonial Belanda, program transmigrasi dilaksanakan untuk kepentingan ekonomi dengan menempatkan transmigran di daerah perkebunan milik Belada. Sedangkan di masa Orde Lama dan Orde Baru, trasmigrasi dilaksankan untuk pemerataan komposisi jumlah penduduk. “Kalo sekarang prinsipnya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk,” ujarnya.
Aprinus menambahkan, suksesnya penyelenggaraan program transmigrasi di masa Orde Baru dikarenakan budaya masyarakat yang masih adaptif dan akomodatif terhadap berbagai cara-cara hidup dan kebiasaan-kebisaan yang berbeda yang dibawa oleh pendatang. “Seetulnya perbedaan tidak menimbulkan masalam dalam kebijakan transmigrasi,” katanya.
Sebaliknya yang terjadi saat ini diakuinya lebih kepada kepentingan ekonomi dan politik yang dikelola sebagai isu persepsi bersama, lewat dikotomi asli dan pendatang, jawa bukan jawa.
Staf Direktorat Peningkatan Kapasitas SDM dan Masyrakat, Kemenakertrans, Ir. Maryanto, M.Si, mengatakan hingga lebih dari 60 tahun pelaksanaan program trasmigrasi, melibatkan 103 kabupaten, 382 kecamatan, 1.183 desa. “Ada 3.053 daerah lokasi transmigrasi yang terbentuk,” katanya.
Ia menambahkan progran transmigrasi tidak menghilangkan nilai budaya penduduk setempat bahkan saling menguatkan agar terjadi harmonisasi dan interaksi. “Kita membentuk forum komunikasi budaya melibatkan tokoh agama dan tokoh adat penduduk setempat,” ujarnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)