Pakar Agronomi UGM Prof. Dr. Didik Indradewa, Dip.Agr.St., menyebutkan krisis kedelai yang kembali menerpa Indonesia saat ini salah satunya dikarenakan kurangnya lahan pertanian. Menurutnya Indonesia setidaknya membutuhkan 2 juta hektar lahan pertanian untuk mencukupi kebutuhan kedelai dalam negeri.
“Indonesia saat ini masih kekurangan beras sekitar 200 ribu ton , untuk mencukupi kebutuhan pokok tersebut kita harus menyediakan 1 juta hektar lahan lagi. Tapi sekarang ini kebutuhan impor padi saja sampai 2 juta ton sehingga kita masih kekurangan lahan sekitar 2 juta hektar,” paparnya, Rabu (11/9) saat bincang-bincang dengan wartawan di ruang Fortakgama UGM.
Oleh karenanya, disampaikan Didik, penting untuk meningkatkan luasan lahan pertanian untuk penanaman kedelai. Pasalnya tanaman juga mengalami persaingan di tingkat lahan.
“Misalnya saja kalau produksi kedelai naik maka akan menggeser produksi jagung dan sebaliknya. Jadi lahan harus dinaikkan agar produksi kedelai lokal bisa memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia. Yang sekarang terjadi produksi kedelaiturun karena tidakbisa bersaing dengan kedelai impor dan tanaman lainnya,” urai Guru Besar Fakultas Pertanian UGM ini.
Didik menuturkan pada tahun 1992 Indonesia mampu memproduksi 1,6 juta ton. Namun angka tersebut terus menurun karena areal pertanian semakin berkurang, sehingga produksi kedelai tinggal 800 ton per tahun.
“Ini adalah krisis kedua dan akan terus berlanjut jika tidak ditangani dengan baik,” tandasnya.
Krisis kedelai juga ditengarai karena petani enggan menanam kedelai karena produktivitasnya rendah dan kalah bersaing dengan kedelai impor. Akibatnya petani tidak mau menerapkan teknologi untuk meningkatkan produktivitas. Padahal sejumlah lembaga penelitian dan perguruan tinggi di Indonesia tidak sedikit yang telah mengembangkan berbagi varietas kedelai yang unggul dan mampu bersaing dengan kedelai impor.
“Rata-rata produktivitas petani 1,3 ton per hektar sedangkan dari varietas kedelai yang dikembangkan oleh peneliti bisa menjapai 3-4 ton per hektar,” terangnya.
Sementara di kalangan perajin tempe, kedelai impor lebih banyak digunakan sebagai bahan tempe karena selain harganya lebih murah keberadaannya selalu tersedia setiap waktu. Berbeda dengan kedelai lokal yang hanya tersedia pada musim-musim tertentu. Selain itu banyak perajin tempe yang menganggap kedelai impor lebih bagus dari kedelai lokal karena berukuran besar. Kedelai lokal rata-rata berukuran 15 gram per 100 butir, sementara kedelai impor ukurannya 18 gram per 100 butir. Ditambah lagi kedelai impor berwarna putih dan memiliki kandungan protein tinggi sebesar 35 persen.
“ Padahal di Indonesia telah dikembangkan beberapa varietas yang juga memiliki ukuran besar seperti Burangrang, Bromo, dan Argomulyo yang bisa mencapai 18 gram per 100 butir. Sementara ada juga varietas kedelai lokal yang mengandung protein hingga 45 persen,”sebut Didik.
Namun karena kurang sosialisasi dan hanya terkonsentrasi di lembaga penelitian,lanjutnya, tidak banyak petani yang mengembangkan varietas kedelai unggul tersebut. Selama ini petani hanya menanam kedelai varietas Wilis yang hanya berukuran 13 gram per 100 butir. “Karena tidak banyak yang memakai akhirnya benih tidak dikembangkan ,” jelasnya.
Didik berharap kedepan dilakukan sosialisasi secara intensif kepada petani tentang keberadaan varietas kedelai unggul tersebut dan mendorong mereka untuk menanamnya. Dengan langkah tersebut diharapkan di masa mendatang tidak akan terjadi lagi krisis kedelai di Indonesia.
“ Negoisasi harga yang menguntungkan petani dan perajin tempe juga perlu dilakukan agar petani mau memakai teknologi dan varietas unggulan yang telah dikembangkan. Sementara pemerintah diharap mengembangkan lahan yang kurang dimanfaatkan seperti di bawah tegakan hutan Perhutani dan di luar Jawa untuk ditanam kedelai. Kalau semua hal itu dilakukan kita bisa lepas dari krisis dan swasembada,” tegasnya. (Humas UGM/Ika)