Hasil survey Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun 2010 mencatat 4,7 persen atau 921.695 pelajar dan mahasiswa di Indonesia berperilaku negatif terlibat narkoba. Sedangkan WHO di tahun 2005 mencatat terjadi banyak perilaku bunuh diri pada usia muda, di Indonesia angka tindak bunuh diri tersebut cukup tinggi mencapai 50.000 jiwa setiap tahunnya. Belum lagi maraknya tawuran antar mahasiswa, mahasiswa menusuk temannya sendiri, mahasiswa terlibat judi hingga perilaku seks bebas.
Iin Tri Rahayu, dosen Fakultas psikologi UIN Maliki Malang, berpendapat semua perilaku negatif tersebut merupakan fenomena-fenomena yang mengarah pada adanya gangguan dalam psychological well-being pada mahasiswa. Bahkan dari penelitiannya di UIN Malang ditemukan 67 persen mahasiswa memiliki tingkat psychological well-being yang rendah, 25 persen pada tingkat psychological well-being sedang dan 8 persen rendah.
“Psychological well-being merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas dalam kehidupannya sehari-hari. Psychological well -being ini merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif”, katanya di Auditorium Psikologi UGM, Rabu (13/9) saat menempuh ujian terbuka program doktor.
Menurut Tri Rahayu, ada dua perspektif yang dipergunakan oleh para ahli dalam menjelaskan tentang konsep psichological well-being, yaitu perspektif hedonik dan eudaimonik. Pandangan hedonik mengartikan well-being berfokus pada konsep hedonik secara luas, yaitu tentang tersedianya pilihan-pilihan dan kenikmatan bagi pikiran dan tubuh. Well-being fokus pada kesenangan yang dirasakan individu secara subjectif dan pengalaman kenikmatan yang meliputi penilaian tentang elemen-elemen kehidupan baik dan buruk. Sedangkan eudaimonik merupakan pendekatan mengenai psychological well-being tentang kejadian dalam hidup yang bermakna.
“Berbeda dari kebahagiaan hedonik, eudaimonik berfokus pada jalur pemenuhan dari potensi sesorang lewat pengusahaan target-target jangka lama yang penting. Pemenuhan target-target jangka lama tersebut membutuhkan usaha, disiplin diri dan pengorbanan”, ungkap perempuan kelahiran Sidoarjo, 18 Juli 1972.
Mempertahankan desertasi “Model Psychological Well-Being Pada Mahasiswa”, Tri Rahayu menuturkan dukungan sosial yang diterima mahasiswa dapat meningkatkan penerimaan diri yang pada akhirnya berimbas pada peningkatan self esteem mahasiswa. Mahasiswa yang merasa memperoleh dukungan sosial meyakini dirinya dicintai, dihargai, berharga dan merupakan bagian dari lingkungan sosialnya. Hal ini membuat mahasiswa cenderung melihat segala sesuatu secara positif dalam hidupnya, termasuk memiliki keyakinan akan kemampuannya dalam mengendalikan berbagai situasi yang dihadapinya dan kondisi ini mendorong mahasiswa lebih yakin bisa meraih apa yang diinginkan tanpa banyak kesulitan, serta menunjang pengembangan potensi yang dimiliki secara positif.
“Hasil ini sesuai dengan penelitian Rutter, Holahan dan Moos serta Saranson yang menyatakan individu yang menerima dukungan sosial yang positif selama hidupnya akan membantu terbentuknya self esteem dan self efikasi”, tutur Tri Rahayu. (Humas UGM/ Agung).