YOGYAKARTA – Tingkat kerusakan akibat gempabumi dipengaruhi oleh kondisi fisik geomorfologi. Berdasarkan hasil penelitian gempa bumi di Bantul 2006 lalu diketahui ada korelasi spasial antara karakteristik geomorfologi, karakteristik bawah permukaan, dan pola kerusakan akibat gempabumi. Semakin rendah daerah maka semakin dalam basemennya, dan sebaliknya semakin tinggi daerah maka semakin dangkal basemennya. Semakin rendah daerah maka semakin tebal sedimen dan sebaliknya semakin tinggi daerah semakin tipis sedimennya. “Semakin tebal sedimen, maka lebih parah kerusakan dan sebaliknya semakin tipis sedimen maka semakin ringan kerusakan,” kata Dosen Jurusan Pendidikan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan, Dwi Wahyuni Nurwihastuti, S.Si., M.Sc., dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Geografi, Sabtu (14/9).
Seperti diketahui, kerusakan gempabumi di Bantul pada 2006 lalu terdiri 34,88% rusak parah, 4,75% rusak sedang dan 60,37% rusak ringan. Menurut Wahyuni, kerusakan paling parah dan sedang terjadi di daerah dataran Bantul. Sedangkan rusak ringan terjadi di daerah pegunungan.
Dilihat dari bentuk lahan di Bantul, secara umum terdiri 6 bentuk lahan berdasar genesisnya, yakni fluvial, marin, aeolian, solusional, denudasional dan struktural. Bentuk lahan fluvial, marine, dan Aeolian memiliki nilai kerapatan (densitas) batuan rendah, yang menunjukkan material penyususn tebal yuang tidak terkonsolidasukan berupa alluvium kuarter. “Daerah tersebut rentan terhadap gempa,” ujarnya.
Sementara bentuk lahan denudasional, struktural dan solusional terdiri dari material terkonsolidasi berupa batuan tersier yang memiliki nilai kerapatan batuan tinggi yang aman terhadap gempa. (Humas UGM/Gusti Grehenson)