YOGYAKARTA – Akademisi dan tokoh masyarakat mendesak agar MPR, DPR dan Pemerintah menghentikan penggunaan istilah 4 pilar kebangsaan yang didalamnya memasukkan pancasila sebagai salah satu pilar. Pasalnya penggunaan istilah ‘pilar’ tersebut hanya berdasarkan pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, tidak didasarkan pada hasil kajian ilmiah epistemologis, yuridis dan ideologis. Hal itu mengemuka dalam pertemuan puluhan pakar yang melakukan Kajian Ilmiah Perbedaan Pendapat 4 Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara di kampus UGM sabtu (14/9) lalu. Hadir dalam diskusi tersebut, Kepala Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM Prof. Sudjito, Guru Besar Filsafat UGM Prof. Kaelan, Pengamat Pendidikan Prof. Darmaningtyas, KH. Abdul Muhaimin , Ketua MPR Sidarto Danusubrata, Prof. Syafii Maarif, Prof. Wuryadi dan Peneliti CSIS Harry Tjan Silalahi.
Kaelan mengatakan penggunaan pancasila dalam 4 pilar seperti memutarbalikkan kedudukan Pancasila yang seharusnya tidak sejajar melainkan berada di atas UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Menurutnya Pancasila sebagai dasar negara sebagai sumber segala sumber nilai yang dibawahnya ada Pembukkan UUD 1945 dan UUD 1945 sebagai sumber normatif. Adapun NKRI sebagai praksis dan bhineka tungal ika sebagai simbol kesatuan bangsa. “Jadi tidak relevan penggunaan pancasila sebagai pilar hanya menggunakan alasan bahasa,” ujarnya.
Kajian linguistik penggunaan kata 4 pilar kebangsaan, kata Kaelan, justru akan mengganggu eksistensi pancasila sebagai dasar negara. Sebagai dasar negara, Pancasila memiliki fungsi regulatif atau tolak ukur untuk menguji suatu hukum positif. Selain itu, Pancasila juga digunakan sebagai fungsi konstitusi. “Karenanya masalah nomenklatur ini perlu diklarifikasi,” ujarnya.
Diakui Kaelan, penggunaan istilah 4 pilar kebangsaan telah mendapatkan penolakan dari kalangan akademisi dan sebagian kelompok masyarakat namun terus disosialisasikan. Di khawatir, apabila terus dilakukan akan terjadi persoalan ideologis dalam penguatan ide, gejolak politis dan ketidakpercayaan publik. “Jika diteruskan maka nantinya hukum kehilangan makna. Ada kekacauan ilmiah, kasihan generasi kita yang kini sedang belajar pancasila,” tuturnya.
Saffi Maarif punya pendapat lain. Meski penggunaan istilah 4 pilar kebangsaan ini perlu diluruskan kembali, namun dia mengapresiasi MPR yang telah menguatkan kembali peran pancasila di tengah masyarakat. “MPR perlu diapresiasi. Saat orang sudah tidak care pada Pancasila, mereka dengungkan. Tapi Kamus Besar Bahasa Indonesia saja tidak cukup dalam penggunaan kata 4 pilar,” katanya.
Menurut tokoh dari ormas islam ini, baginya Pancasila sudah final. Namun demikian, ia mengkritisi pengamalan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sering tidak dilaksanakan. “Antara kata dan laku tidak konsisten. Selalu saja ada pertarungan idealisme dan praksisme yang terjadi sejak proklamasi hingga saat ini,” imbuhnya.
Menanggapi desakan pakar dan tokoh masyarakat tersebut, ketua MPR RI Sidarto Danusubrata, mengatakan dirinya secara pribadi menerima masukan tersebut bahkan akan mengoreksi penggunaan istilah 4 pilar. Namun demikian, menurutnya pelurusan kembali istilah tersebut harus mendapat persetujuan pimpinan fraksi lain di DPR dan MPR. “Di belakang saya ada kekuatan politik. Empat pilar muncul dari kesepakatan semua fraksi. Semua masukan, dibawa dalam rapat pimpinan fraksi yang melahirkan ini semua,” katanya.
Dia menerangkan penggunaan istilah 4 pilar didasarkan pada Kamus Besar Bahasa Indonesia. Penempatan posisi pancasila ke dalam konsep 4 pilar sama sekali bukan tindakan untuk mereduksi Pancasila tapi upaya antisipatif atas situasi yang berkembang pasca reformasi. “Kondisi yang bisa dideskripsikan sebagai kevakuman ideologi,” ujarnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)