YOGYAKARTA – Produktivitas padi di Indonesia diketahui masih sangat rendah yakni 5,7 ton per hektar. Rendahnya hasil produktivitas padi ini diyakini salah satunya penyebabnya adalah serangan gulma yang dapat menyebabkan penurunan produktivitas padi 23 % hingga 61%. Umumnya petani menggunakan herbisida sintetis untuk mengendalikan gulma, namun kenyataannya berdampak pada penurunan produktivitas tanah, keracunan pada manusia dan organisme bukan sasaran serta memunculkan gulma resisten.
Penggunaan herbisida nabati dengan memanfaatkan bahan dari alam atau sisa tumbuhan menjadi alternatif untuk menanggulangi gulma. Seperti yang dilakukan Petani padi dari Desa Beringin Raya, Provinsi Bengkulu, yang secara turun temurun memanfaatkan kulit buah jengkol untuk mengendalikan gulma. Selain bermanfaat, usaha yang dilakukan petani ini telah memanfaatkan 20 ton limbah kulit jengkol yang dibuang setiap harinya di Bengkulu. Bahkan di Jawa Barat diperkirakan mencapai 100 ton limbah kulit jengkol yang bisa dimanfaatkan.
Dosen prodi Ilmu Pertanian, Universitas Bengkulu (UNIB), Uswatun Nurjannah, mengatakan pemanfaatan kulit buah jengkol untuk mengendalikan gulma padi sawah memang sudah dilakukan oleh petani di Desa Beringin Raya provinsi Bengkulu. Petani padi sawah di desa tersebut biasanya menabur ekstrak kulit buah jengkol utuh sebelum olah tanah kedua. “Cara tersebut ternyata dapat menekan pertumbuhan gulma sekitar 15 persen,” kata Nurjannah dalam ujian terbuka promosi doktor di fakultas pertanian UGM, Senin (16/9). Bertindak selaku promotor, Prof. Dr. Ir. Prapto Yudono, M.Sc., Ko-promotor Prof. Dr. Ir. AT Sujono, M.Sc., dan Dr. Ir. Dja’far Shiddieq, M.Sc.
Dari hasil penelitian Nurjannah, kulit buah jengkol segar mengandung senyawa fenolat, flavonoid, dan asam galat dengan kadar 39.500 ppm, 3.000 ppm, dan 437,89 ppm. Kandungan senyawa tersebut, ujarnya, merupakan hasil eskstrak kulih buah jengkol formulasi cair atau bubuk apabila digunakan saat musim tanam maka akan menghambat pertumbuhan rumput tuton. “Alelokimia kulit buah jengkol segar menurunkan serapan hara, laju fotosintesis dan transportasi rumput tuton asal biji,” kata Nurjannah yang berhasil lulus ujian doktor dengan predikat cumlaude ini.
Menurutnya, sebaiknya ekstrak kuliah buah jengkol segar dimanfaatkan sebanyak 10 ton per hektar yang dapat menggantikan penyiangan gulma. Namun demikian hambatan alelokimia kulit buah jenghkol segar justru terjadi pada gulma berdaun lebih besar dibandingkan rumputan dan tekian.
Dia berkesimpulan, pemanfaatan kulih buah jengkol mampu mengendalikan gulma, tidak hanya menekan biaya produksi dalam usaha padi sawah tapi juga sebagai pembuktian kearifan lokal dalam menangani limbah jengkol sehingga keseimbangan lingkungan terjaga. “Hal ini juga sesuai dengan kaidah pertanian berkelanjutan,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)