Kemajuan tentang analisis metabolit steroid pada primata telah berkembang sangat pesat. Hal ini menunjukkan bahwa pemantauan kesehatan pada satwa liar khususnya primata sangat tergantung kepada metode non-invasiv, suatu metode pemeriksaan yang digunakan tanpa melakukan manipulasi hewan. Pada kondisi tertentu, monitoring secara non-invasiv akan menjadi lebih akurat dibandingkan metode tradisional (menggunakan sampel darah) manakala monitoring berkaitan dengan kondisi stres, tingkah, laku dan fisiologi.
“Karena primata itu satwa yang sulit ditangani, mudah stres maupun pembawa penyakit zoonotik maka pendekatan non-invasiv punya beberapa keuntungan,”papar Prof. Dr. drh. Pudji Astuti, MP pada pidato pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Hewan UGM di Balai Senat, Selasa (17/9).
Pada kesempatan tersebut Pudji membawakan pidato pengukuhan yang berjudul Monitoring Status Hormonal Pada Primata Secara Non-Invasif: Metode dan Pemanfaatan.
Lebih jauh Pudji menambahkan dengan melakukan monitoring endokrinologi pada primata diperoleh beberapa manfaat, yakni memfasilitasi program manajemen/penangkaran, memperluas database komparatif dan mengintegrasikan fisiologi dan perilaku dalam penelitian lapangan primata serta memunculkan sebuah disiplin baru dalam bidang endokrinologi.
“Dari sini munculah wawasan baru ke dalam tindakan adaptasi fisiologi dan perilaku serta proses reproduksi primata dalam konteks evolusi,”kata perempuan kelahiran Yogyakarta, 12 Oktober 1960 itu.
Menurut Pudji perlu dipertimbangkan bahwa analisis hormon pada feses dan urin tidak semudah yang dibayangkan, terutama pada spesies yang belum pernah diketahui sebelumnya. Oleh karena itu, validasi dalam analisis hormon mutlak dilakukan. Selain itu, pemanfaatan primata sebagai hewan model dalam bidang penelitian masih sangat dibutuhkan.
“Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan tersebut aktivitas penyediaan primata sebagai hewan model perlu ditingkatkan,”tuturnya.
Seperti diketahui Indonesia merupakan negara yang mendapat julukan “mega biodiversitas”, karena mempunyai keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, bahkan menduduki peringkat kedua di dunia setelah Brazilia. Sekitar 515 spesies mamalia dengan 39% merupakan satwa endemik (urutan kedua di dunia); 511 spesies reptile dengan 150 jenis merupakan endemik (urutan keempat di dunia); Selanjutnya, enam puluh lima persen jenis primata yang ada di dunia berada di Indonesia bahkan beberapa dari jenis primate merupakan satwa endemic (Humas UGM/Satria AN)