YOGYAKARTA – Pusat Studi Kebudayaan (PSK) UGM dan Creole Institute berencana akan menggelar seminar kebudayaan yang mengkaji masyarakat, sejarah dan kebudayaan Sawahlunto. Seminar yang akan berlangsung pada 25 September di ruang seminar Sekolah Pascasarjana UGM, mengundang pakar kebudayaan, birokrat dan peneliti kebudayaan masyarakat Sawahlunto.
Ketua panitia seminar, Agus Hernawan, mengatakan pilihan mengkaji Sawahlunto, Sumatra Barat, terkait beberapa alasan, salah satunya, ada perubahan besar yang terjadi dalam sejarah kebudayaan di Sawahlunto, terkait hadirnya buruh paksa dari daerah lain di abad 18 hingga awal abad 20. Mereka yang menjadi buruh batu bara itu hampir tanpa identitas karena dihilangkan dan hanya memiliki penanda berupa nomor di lengan kiri. “Berdasarkan penelitian, terdapat kira-kira 4000 makam buruh paksa yang hanya bernisan angka dan huruf. Cukup kesulitan untuk melacak leluhur mereka dari mana asalnya,” kata Agus, Kamis (19/9).
Buruh yang dipekerjakan di Sumatera Barat itu adalah buruh hukuman dan terbuang. Identitasnya hanya huruf dan angka, mayoritasnya dari Jawa, Sulawesi, Bali, Batak, Nias, Madura. Beberapa di antara mereka adalah pejuang politik yang diasingkan. “Beda dengan buruh paksa di Karibia, Brazil yang bisa terlacak asal-usulnya. Di Sawahlunto, buruh paksa dihilangkan sejarahnya. Tapi dalam perjalanan kebudayaan, ada produksi bahasa creol, ada tonel jawa. Mereka produksi sendiri budaya kalau di Jawa ada jaran kepang di sana disebut jalan kepang,” kata Agus.
Sawahlunto yang awalnya jadi tambang batubara, akhirnya memang jadi semacam kota mati karena batubara yang ada habis ditambang. Kondisi itu menumbuhkan identitas kebudayaan yang baru, karena setelah 30 tahun terakhir berhenti penambangan batubara kini berubah jadi kota wisata. “Ada transformasi industri tambang menjadi industri pariwisita,” ujarnya.
Kondisi itu telah membawa perubahan kultural, lewat kebijakan strategi transformasi yang efektif, kota yang bergantung pada bahan tambang mineral batu bara itu akhirnya hidup kembali perekonomiannya. Perubahan kebudayaan besar di Sawahlunto, kata Agus, bisa jadi contoh menarik untuk daerah lain. Seperti diketahui, dari kota kecil di pulau Sumatra muncul tokoh yang memberi inspirasi bagi Indonesia. Di sana lahir sejumlah tokoh-tokoh seperti M Yamin, Soejatmoko, Adinegoro yang menemukan gagasan kebangsaan Indonesia. (Humas UGM/Gusti Grehenson)