YOGYAKARTA – Pemerintah RI sejak 13 tahun yang lalu berencana berswasembada daging namun hingga saat ini belum tercapai. Syarat untuk swasembada daging adalah minimal 90 % konsumsi daging sapi dipasok dari sapi domestik. Sisanya 10 % dipenuhi melalui impor, baik dalam bentuk sapi bakalan maupun daging beku. Sampai saat ini, Indonesia masih kekurangan 85 ribu ton atau 17,5% dari total kebutuhan dalam negeri. Padahal, total kebutuhan daging sapi domestik mencapai 484 ribu ton, sementara total produksi daging sapi dalam negeri hanya mencapai 399 ribu ton.
Guru Besar Bagian Ilmu Reproduksi Hewan Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Prof. drh. Aris Junaidi, Ph.D., mengatakan Indonesia memiliki potensi untuk usaha peternakan sapi potong dilihat kemampuannya dalam penyediaan pakan. Bahkan saat ini masih tersedia kawasan perkebunan yang relatif kosong ternak seluas lebih dari 15 juta hektar. “Tiap hektar kawasan perkebunan dan pertanian sedikitnya mampu menyediakan bahan pakan untuk 1-2 ekor sapi sepanjang tahun,” kata Aris Junaidi dalam Pidato Ilmiah Dies Natalis ke-67 FKH UGM, Jumat (20/9).
Dalam pidato yang berjudul ‘Menggagas Terwujudnya Swasembada Daging Sapi di Indonesia’, Aris Junaidi mengatakan beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya pencapaian swasembada daging sapi disebabkan sebagian besar pelaku usaha peternakan adalah petani kecil dengan skala kepemilikan 1-3 ekor sapi yang hanya sebagai tabungan bukan pendapatan utama. Rendahanya tingkat pendidikan peternak yang mencapai 25 % tidak tamat SD dan 37% lulusan SD. Minimnya tenaga penyuluh pertanian, tenaga medis dan paramedis veteriner yang menangani reproduksi dan kesehatan hewan.
Selain itu, belum optimalnya peran Balai Pembibitan Ternak Unggul sebagai pusat pembibitan sapi secara nasional serta sulitnya mengontrol pemotongan sapi betina produktif.
Untuk mewujudkan program swasembada daging sapi yang berkelanjutan, Aris Junaidi mendesak pemerintah untuk segera merevisi blue print Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) 2014 dan merevisi pengaturan impor sapi bibit dengan memasukkan sapi betina produktif dalam permentan yang baru. Program jangka pendek adalah pendataan jumlah betina produktif dan impor sapi bibit kategori I untuk Pusat Pembibitan Ternak Unggul yang akan digunakan sebagai penyuplai bibit sapi secara nasional. “Sedangkan untuk mempercepat populasi adalah dengan impor bibit kategori 3 dan 4 untuk peremajaan di kelompok ternak atau integrasi peternakan dengan perkebunan,” katanya.
Diakui oleh Aris, dari sejarah impor sapi hidup asal Australia yang berlangsung sejak 1980-an, Indonesia memang belum pernah mengimpor sapi bibit asal Australia, melainkan sapi bakalan dan sapi betina bunting yang bukan kategori betina produktif. “Indonesia memang tidak pernah mengimpor sapi bibit yang mendapatkan sertifikat pedigree, sehingga sapi-sapi yang diekspor Australia untuk keperluan breeding sebenarnya bukan sapi bibit tapi sapi potong,” tuturnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)