Indonesia layak belajar pada Brazil karena keseriusannya dalam menghadapi deforestasi dan degradasi hutan yang merugikan. Brazil dinilai mampu memanfaatkan dana yang ada untuk melakukan pengurangan gas emisi gas rumah kaca, dan program tersebut pantas mendapat pujian sekaligus layak sebagai tempat untuk studi.
Demikian yang mengerucut dari Forum Kebijakan Luar Negeri pada diskusi “The Implementation of Indonesia’s Commitment to Reduce Greenhouse Gas Emissions: Lesson-Learned From Brazil” di University Center UGM, Senin (23/9). Diskusi yang digelar Kementerian Luar Negeri RI bersama UGM menghadirkan pembicara Achmad Santosa , S.H., LL.M, deputi VI Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan pengendalian Pembangunan (UKP4), H.E. Paulo da Silveira Soares, Duta Besar Negara Republik Federasi Brazil, Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc, Kepala Pusat Standarisasi dan Lingkungan, Kementerian Kehutanan dan Dr. Oka Karyanto, staf pengajar UGM.
H.E. Paulo da Silveira Soares mengungkapkan Brazil dengan hutan tropis Amazon disebutkan memang tak bisa lagi secara penuh mempertahankan hutan alam, tanpa ada penebangan. Namun dalam pemanfaaatan hasil hutan memiliki aturan tegas guna menghindari kerusakan hutan.
Ada program akselerasi ekonomi masyarakat di sekitar hutan yang dikerjakan untuk turut mengelola agar hutan bisa lestari, dan Brazil memiliki komitmen kuat mengurangi emisi gas rumah kaca ini pada tahun 2008. “Dengan membuat program Amazon Fund, program reduce greenhouse sepanjang Amazon bisa berjalan dengan baik. Kuncinya ada dikoordinasi, dengan melibatkan banyak pihak, seperti pemerintah, private sektor dan indigenous, masyarakat adat”, katanya seraya menambahkan pemerintah boleh membuat kebijakan apapun namun yang melaksanakan para generasi muda.
Wening Esthyprobo, Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kawasan Amerika dan Eropa, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan, Kementerian Luar Negeri RI mengungkapkan untuk Indonesia, target mengurangi emisi karbon mendapatkan momentum saat Presiden Yudhoyono mengikuti KTT G20 di Pittsburg pada tahun 2009. Saat itu, ditegaskan Indonesia berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen pada tahun 2020 dan 41 persen dengan dukungan internasional.
“Komitmen ini mendapat respon positif dan disambut oleh masyarakat internasional, khususnya, Pemerintah Norwegia. Dan untuk membantu Indonesia mencapai targetnya untuk mengurangi emisi, Letter of Intent (LoI) yang ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan Norwegia pada tahun 2010. Disebutka Norwegia setuju untuk memberikan Indonesia sebesar 1 miliar rupiah untuk skema Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan Plus (REDD +)”, kata Wening.
Wening menyatakan banyak tantangan dalam upayanya memenuhi komitmen tersebut. Oleh karena itu, Indonesia perlu belajar dari negara lain yang memiliki situasi dan masalah yang sama. “Kita memilih Brazil sebagai salah satu contoh negara yang diharapkan mampu memberi banyak pelajaran berharga dan wawasan bagaimana menangani masalah ini”, ungkapnya.
Disebutkan Brasil dan Indonesia memiliki banyak kesamaan. Keduanya merupakan negara ekonomi berkembang, memiliki hutan hujan tropis, dan di saat yang sama menghadapi kerugian akibat deforestasi dan degradasi hutan.
“Kita ingin belajar, seberapa efektif berbagai inisiatif dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dari Brazil, bagaimana dengan ide-ide yang bertentangan perlindungan lingkungan dan promosi pembangunan ekonomi pada waktu yang sama. Kita juga belajar bagaimana brazil menangani kompleksitas dan masalah transparansi dalam proses aplikasi dan pendanaan proyek-proyek penurunan emisi Gas Rumah Kaca, demikian juga mengelola isu-isu sumber daya manusia secara kuantitas dan kualitas guna mendukung pelaksanaan kegiatan, dan sebagainya”, imbuhnya. (Humas UGM/ Agung)