Sebagai negara tropis, Indonesia menjadi kawasan yang disukai sebagai tempat kembangbiak nyamuk. Dari sekitar 3000 spesies nyamuk di dunia, 450 jenis diantaranya terdapat di Indonesia, termasuk nyamuk anopheles yang menjadi vektor penyakit malaria. Sehingga tidak mengherankan lagi Indonesia menjadi negara yang banyak terjadi kasus malaria. Setidaknya lebih dari 400 ribu malaria kasus per tahun.
Berbagai cara telah dilakukan untuk mencegah komplikasi malaria namun mengakibatkan efek samping yang cukup serius. Seperti menggunakan zat yang bersifat antikoagulan salah satunya dengan heparin mengakibatkan perdarahan pada pasien. Selain itu dengan Lomodex namun terkadang dapat menyebabkan reaksi anafilaktif. Di sisi lain upaya pemberantasan malaria sampai saat ini masih menghadapi berbagai kendala diantaranya akibat semakin luasnya plasmodium yang resisten terhadap obat antimalaria.
“Penanganan penyakit ini biasanya dengan memberikan antimalaria. Namun penggunaan antimalaria pada penderita ternyata banyak menimbulkan resistensi. Sementara vaksin malaria yang bisa untuk melindungi tubuh terhadap infeksi dan komplikasi malaria sampai sekarang belum juga ditemukan,” kata Zulfa Faiqoh, mahasiswa Fakultas Kedokteran UGM , Selasa (24/9) saat bincang-bincang dengan wartawan di ruang Fortakgama UGM.
Melihat kenyataan tersebut ia bersama dengan empat temannya dari Fakultas Kedokteran UGM yaitu Danang Setia Budi, P. Panja P., A.A. Ngurah Nata Baskara, dan Wahyu Nitari berusaha melakukan inovasi pengembangan obat anti malaria. Mereka menggunakan bahan tanaman herbal yaitu memanfaatkan benalu manga (Dendrophthoe pentandra).Penelitian yang mereka kembangkan pun berhasil meraih medali perak dalam PIMNAS di Universitas Mataram, awal September kemarin.
Zulfa menjelaskan alasan pemilihan benalu dikarenakan di dalamnya mengandung senyawa flavonoid yang bisa digunakan sebagai antikanker, antioksidan, antimikrobia, dan juga antimalaria. “Benalu yang meruapakan tanaman parasit secara tradisional sudah banyak digunakan masyarakat seperti untuk obat batuk, kanker, dan penghilang nyeri. Dan dari berbagai kajian yang telah dilakukan banyak peneliti menunjukkan bahwa benalu mangga memiliki aktivitas anti malaria yang bisa digunakan sebagai antimalaria,” tuturnya.
Sebelumnya untuk mengetahui efektivitas benalu sebagai antimalaria, Zulfa dan teman-temannya melakukan penelitian secara in vivo. Uji antiplasmodium dilakukan terhadap Plasmodium berghei yang diinfeksikan pada mencit. Bahan uji berupa ekstark etanol benalu diberikan per oral pada mencit. Untuk mendapatkan ekstrak benalu, pertama benalu dipotong kecil-kecil lalu dikeringkan untuk dibuat serbuk simplisia. Selanjutnya serbuk tersebut diekstraksi selama 24 jam dengan etanol 70 persen. Setelah itu hasilnya disaring dan diuapkan menggunakan evaporator sehingga diperoleh ekstrak kental yang kemudian diuapkan menjadi ekstrak kering.
Uji dilakukan pada 25 ekor mencit yang terbagi dalam lima kelompok. Masing-masing menerima bahan uji yang dalam konsentrasi 25mg/kgBB, 50mg/kgBB, 100mg/kgBB, dan 200 mg/kgBB selama empat hari.
“Di hari kelima setiap mencit diambil darah tepinya dari ujung ekor untuk pemeriksaan prosentase parasitemia. Hasilnya menunjukkan dosis 146,2 mg/kgBB mampu menghambat 50 persen Plasmodium berghei yang diinfeksikan ke mencit,” tambah Wahyu Nitari.
Wahyu mengatakan dari uji tersebut dapat disimpulkan bahwa benalu mangga mempunyai aktivitas antiplasmodium in vivo yang baik terhadap Plasmodium berghei dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai antimalaria. Meskipun begitu ia belum berani untuk melepas hasil penelitian ini ke pasaran.
“Masih perlu penelitian lanjutan karena kita belum melakukan uji toksisitas dan yang lain sehingga belum bisa digunakan ke manusia,” jelasnya. (Humas UGM/Ika)