YOGYAKARTA – Mahasiswa Teknik Mesin UGM yang tergabung Grup riset Flying Object Research Center (FORCE) mengembangkan teknologi pesawat tanpa awak atau Unmanned Aerial Vehicle (UAV). Pesawat tanpa awak yang mereka namakan ‘camar biru’ ini melakukan ujicoba penerbangan perdana di lapangan Grha Sabha Pramana. Selama 10 menit, pesawat mini yang berukuran panjang 120 cm dengan bobot 4 kilogram ini terbang mengelilingi kawasan kampus UGM. Yang menarik, si camar biru terbang tanpa dikendalikan remote control, melainkan terbang secara autonomous. “Hanya saja saat melakukan take off dan landing dikendalikan lewat remote control,” kata Damar satria guntoro, mahasiswa teknik mesin yang menjadi anggota tim peneliti, Rabu (25/9).
Pesawat yang telah dikembangkan selama dua tahun ini, kata Damar menghabisakan dana sebesar Rp 25 juta. Awalnya mereka kesulitan mencari bahan untuk membuat pesawat tersebut. “Kita awalnya menggunakan bahan fiber. Karena terlalu terlalu berat sehingga tidak bisa diterbangkan,” ujarnya.
Setahun kemudian mereka menggunakan pesawat dari bahan lebih ringan dengan menggunakan paduan komposit dan kayu basah, alasannya bahan tersebut lebih ringan dan bisa dengan mudah pesawat untuk diterbangkan. Bahkan komponen badan dan sayap pesawat menggunakan bahan lokal. Hanya saja komponen elektronik beserta remote control masih tetap diimpor. “Untuk softwarenya saja kita kembangkan sendiri,” imbuhnya.
Mahasiswa teknik mesin angkatan 2011 menerangkan camar biru bisa diterbangkan secara autonomous menggunakan sensor mengikuti jalur lintasan di uadara berdasarkan titik kordinat GPS. Sedangkan perangkat lunak untuk kendali pesawat yang mereka dinamakan mission planner ugm menggunakan software microsoft visual c plus-plus. “Program ini mampu memonitor posisi dan orientasi pesawat beserta kondisi baterai,” katanya.
Dr. Gesang NUgroho, salah satu dari angota dosen pembimbing mengatakan ‘Camar Biru’ dilengkapi dengan kontroller, sensor, sistem telemetri sehingga dapat terbang secara autonomous. Camar biru ini juga mampu terbang dengan jarak 8 kilometer, terbang dengan kecepatan 60 km/jam. Selain itu, bisa difungsikan mengirimkan live video, menghasilkan peta udara dari mosaic foto serta mampu dropping payload pada lokasi tertentu.
Yang berbeda, kata Gesang, baling-baling camar biru ditempatkan di tengah badan pesawat yang diarahkan ke ekor pesawat. Hal itu dimaksudkan untuk kepentingan keamanan pesawat namun tidak mengganggu keseimbangan pesawat selama terbang. “Dengan baling-baling di tempatkan ke arah belakang, maka kemungkinan saat pesawat jatuh tidak akan merusak motor pesawat, tidak mengganggu saat ada payload yang dijatuhkan, dan tidak mengganggu kerja kamera,” katanya.
Dosen teknik mesin UGM ini menambahkan pesawat tanpa awak ini akan dikembangkan agar bisa dimanfaatkan untuk keperluan pemantauan lalu lintas, pemantauan daerah bencana, gunung berapi, perkebunan, patroli daerah perbatasan, dan patroli laut. (Humas UGM/Gusti Grehenson)