Politik uang masih saja mewarnai penyelenggaraan pemilihan umum di sejumlah negara Asia Tenggara. Sebut saja Filipina, Malaysia, Thailand, dan juga Indonesia dalam pelaksanaan pemilihan umumnya banyak ditemukan praktek politik uang. Hal tersebut dikemukakan oleh Prof. Edward Aspinall, Departement of Political and Social Change, ANU dalam Kuliah Umum “Politik Uang: Dinamika Elektoral dan Klientelisme di Indonesia dan Asia Tenggara” Senin, (23/9) di FISIPOL UGM.
Edward menyampaikan bahwa hasil penelitian yang dilakukannya pada empat negara tersebut menunjukkan bahwa banyak kemiripan pola dalam pelaksanaan politik uang dalam pemilu di negara-negara Asia tenggara. Misalnya serangan fajar di Indonesia juga dijumpai di Thailand dengan istilah The night of the barking dogs. Sementara di Papua Nugini hal tersebut dikenal sebagai malam setan.
“Politik uang merupakan fenomena yang tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di beberapa negara Asia Tenggara dengan pola yang mirip dalam pelaksanaannya,” ungkapnya.
Dalam pra riset yang dilakukan di Indonesia ia menemukan pola patronase yang seragam. Patronase adalah materi yang dibagikan untuk mendapatkan manfaat politik. Misalnya serangan fajar oleh tim sukses. “Menariknya permasalahan tim sukses ini kerap menghadirkan dilemma bagi calon. Mereka biasanya mengkhawatirkan bagaimana cara untuk menjaga loyalitas anggota tim sukses,” katanya.
Menurutnya, kondisi dilemma tersebut terjadi karena berbagai motivasi dari setiap individu dari tim sukses. Beberapa diantaranya motivasi kedekatan ideologi dengan calon, motivasi untuk menjadi kilen dari calon yang dijagokan, dan motivasi untuk mendapatkan materi dalam jangka pendek.
Kondisi tersebut dikatakan Edward justru menimbulkan kerapuhan tim sukses dan rawan terjadi pengkhianatan dari dalam. Calon di daerah kerap mengalami ‘pencurian’ oleh anggota tim suksesnya sendiri, bahkan pengkhianatan yang dilakukan secara terang-terangan. Sebagai contoh seperti yang dialami seorang calon Bupati di Aceh, yang awalnya dikira kaya, tetapi setelah diketahui miskin ditinggalkan oleh anggota tim suksesnya.
Masalah loyalitas anggota tim sukses menjadi masalah universal di sistem yang melakukan politik patronase. Di beberapa negara hal ini justru dilihat sebagai salah satu pemicu berkembangnya politik yang lebih programatis, tidak hanya mendasarkan pada patronase. “Bagi sebagian calon, politik uang pada akhirnya dianggap tidak efektif dan kerap merugikan si calon. Namun demikian di beberapa negara lain politik patronase justru tetap bertahan lama, berjalan hingga puluhan tahun, misalnya di Filipina,”jelasnya.
Sementara Dr.rer.pol. Mada Sukmajati, dosen Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM
menyebutkan tidak memadainya pemahaman masyarakat mengenai batasan praktek politik uang dan bahaya yang ditimbulkan menjadi salah satu penyebab berkembangnya praktek politik uang di Indonesia. Kondisi tersebut diperparah dengan sistem hukum Indonesia yang seolah tidak mampu
menjerat praktek-praktek politik uang. “Untuk itu pendidikan pemilih penting dilakukan untuk meng-counter praktek politik uang di Indonesia,” tegasnya.
Pendidikan pemilih untuk menghasilkan pemilih yang rasional dikatakan Mada Sukmajati dapat dilakukan dengan metode pendidikan pemilih yang berbasiskan pada telusur rekam jejak. Telusur rekam jejak bisa dilakukan melalui rekam jejak partai ataupun kandidat.
Dalam model pendidikan pemilih yang digagas, Mada Sukmajati menyampaikan, ada beberapa fase dimana pemilih perlu dipandu. Misalnya mulai dari tahap mengumpulkan informasi, pemilih harus diajak untuk sadar, informasi semacam apa yang harus diketahui, dan bagaimana cara mencari informasi tersebut. (Humas UGM/Ika)