BANTUL – Fakultas Peternakan UGM memanfaatkan limbah kotoran ternak untuk meningkatkan produktivitas padi. Kotoran ternak sapi, kambing dan unggas diolah menjadi pupuk organik pengganti pupuk kimia ini telah berhasil meningkatkan produktivitas padi petani desa Argorejo, Sedayu, Bantul yang sebelumnya rata-rata 7,5 ton per hektar menjadi 9,3 ton per hektar.
Dekan Fakultas Peternakan, Prof. Dr. Ir. Ali Agus mengatakan program pendampingan dan pemberdayaan kelompok tani ini bekerjasama dengan program Bina Lingkungan Bank Mandiri. Kegiatan yang dimulai 3 bulan silam ini telah berhasil membangun satu rumah produksi pupuk berkapasitas 20 ton per bulan, satu instalasi biogas ramah lingkungan serta satu unit rumah produksi jamur. “Kotoran sapi dan unggas kita olah jadi pupuk organik sedangkan jerami padi digunakan sebagai pakan ternak” kata Ali Agus saat peluncuran program Mandiri Bersama Mandiri di desa Argorejo, Sedayu Bantu, Jumat sore (27/9).
Diakui Ali Agus, program pemberdayaan kepada masyarakat ini dalam rangka peningkatan ketahanan pangan desa lewat pengembangan pertanian terpadu. “Kita prihatin, produk pangan impor semakin mengancam ketahanan pangan. Konversi lahan pertanian yang semakin besar ini berdampak pada ketersediaan pangan makin terbatas sementara kebutuhan makin meningkat,” ujarnya.
Gubernur DIY, Sri Sultan HB X menyampaikan apresiasinya atas program yang dilaksanakan UGM dengan Bank Mandiri tersebut. Kendati demikian, Sri Sultan menyampaikan kritikannya bahwa program peningkatan kemandirian masyarakat jangan hanya sebatas melaksanakan program corporate social responsibility (CSR). “ Karena ini CSR. Lewat CSR, apakah mereka betul mandiri, karena masyarakat akan selalu bergantung pada bantuan dari luar,” katanya.
Sri Sultan mengusulkan program semacam ini dilaksanakan paling tidak selama 5 tahun agar masyarakat betul-betul bisa mandiri. Bahkan Sri Sultan juga memperbolehkan perusahaan melaksanakan CSR membebankan bunga pinjaman 1 persen pada petani agar mereka juga merasa bertanggungjawab terhadap program yang dilaksanakan. “Dengan beban bunga maka ada tanggungjawab. Jangan sampai kita mendidik mereka memiliki ketergantungan. Tapi misalnya puso, bunganya dikembalikan,” imbuhnya.
Gubernur juga sempat menyinggung rencana kebijakan pemerintah daerah untuk menyusun perda 35 ribu hektar lahan pertanian DIY yang tidak boleh dialihfungsikan menjadi lahan bangunan dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan DIY. “Selama 10 tahun tidak boleh berubah lahan. Jika gagal panen maka akan diganti. Karena konversi lahan pertanian DIY capai 200 hektar per tahun,” katanya
Subari, 52 tahun, salah seorang petani Argorejo menuturkan dirinya hanya memiliki lahan padi seluas 2.000 meter persegi. Itupun terpisah menjadi dua lahan di tempat yang berbeda. Meski satu tahun bisa tiga kali panen, namun produksinya terbilang minim karena sempitnya lahan yang dimiliki. “Sejak menggunakan pupuk organik ini sudah ada peningkatan 1,5 ton lebih per hektar,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)