Kanker payudara adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas kanker pada wanita di seluruh dunia termasuk Indonesia. Angka kejadian semakin meningkat tiap tahun sehingga menjadi salah satu masalah kesehatan yang krusial. Meskipun mekanisme kerja secara pasti belum diketahui, estrogen diduga memegang peranan penting terjadinya kanker payudara melalui mekanisme proliferasi dan metabolit genotoksik.
Reseptor estrogen utama adalah reseptor estrogen α, dikodekan sebagai gen ESR1.Variasi keberhasilan terapi anti estrogen diduga karena adanya polimorfisme gen ESR1.Densitas mamografi merefleksikan perbandingan jumlah stroma, epithelial, dan jaringan lemak. Secara umum densitas mamografi dikaitkan dengan proliferasi sel yang diduga merupakan efek estrogenik.
“Wanita dengan densitas mamografi tinggi memiliki faktor risiko kanker payudara yang lebih kuat,”tegas Lina Choridah, pada ujian terbuka program doktor Ilmu Kedokteran dan Kesehatan di Auditorium Fakultas Kedokteran (FK) UGM, Selasa (8/10).
Pada kesempatan itu Lina mempertahankan disertasinya yang berjudul Densitas Mamografi Metode Nilai Ambang, Kadar Estradiol, dan Polimorfisme Estrogen Reseptor 1 Sebagai Prediktor Kanker Payudara.
Densitas mamografi merupakan novel independent risk factor kanker payudara pada populasi di Indonesia khususnya etnik Jawa. Polimorfisme estrogen receptor 1/ESR1 PvuII dan ESR1 Xba1 juga merupakan prediktor kanker dengan proporsi menunjukan adanya dominasi alel T/A sesuai dengan proporsi wanita Asia, sedangkan kadar estradiol secara langsung tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan risiko kanker payudara. GAMA DEJAVU (Gadjah Mada Densitas Mamografi Jawa PvuII) merupakan model baku emas, sekaligus model terbaik perhitungan risiko kanker payudara.
“Densitas mamografi memiliki korelasi dengan Indeks Masa Tubuh (IMT) sesuai status menopause, memiliki korelasi positif kuat dengan polimorfisme ESR1 PvuII tetapi tidak berkorelasi dengan riwayat keluarga,”tuturnya.
Lina menilai pengembangan mamografi sebagai alat deteksi dini kanker payudara sekaligus sebagai prediktor risiko yang kuat sangat diperlukan disamping penambahan modalitas citra payudara lain, yaitu ultrasonografi dan MRI untuk mengantisipasi adanya masking effect. Wawasan mengenai peranan densitas mamografi sebagai novel independent risk factor kanker payudara juga harus disosialisasikan sehingga dapat meningkatkan kewaspadaan bagi populasi dengan risiko yang lebih tinggi. Dengan demikian diharapkan akan dapat dimanfaatkan sebagai acuan upaya preventif maupun intervensi untuk menurunkan risiko kanker payudara.
“Mengingat keanekaragaman etnik di Indonesia, diperlukan penelitian multi etnik lebih lanjut terkait faktor genetik. Apalagi faktor risiko kanker payudara ini bersifat multifaktorial,”jelas anggota tim onkologi kanker payudara FK UGM/RS. Dr. Sardjito ini (Humas UGM/Satria AN)