YOGYAKARTA – Menjamurnya program dakwah di televisi nasional setidaknya memberikan ruang bagi penceramah untuk menyampaikan pesan agama secara lebih luas ke masyarakat. Makin banyak penonton yang suka dengan salah satu Da’i dan Da’iyah tentu memberi keuntungan tersendiri bagi penceramah. Selain dikenal, undangan untuk mengisi ceramah otomatis akan mengalir dari mana-mana.
Yusuf Mansyur, salah satunya, mengatakan tujuan seorang penceramah tampil di media televisi bertujuan agar semakin banyak orang yang mendengar pesan agama yang disampaikan. Kendati ruang untuk berdakwah di televisi juga terbatas.
“Kita justru berterima kasih dengan owner televisi, mereka memberi kesempatan, setengah atau satu jam untuk kita bisa berdakwah,” kata Yusuf Mansyur dalam Seminar ‘Agama dan Telebisi di Indonesia’ di Convention Hall UIN Yogyakarta, Rabu (11/10). Hasil Kerjasama UGM, UIN Yogyakarta dan Universitas Kristen Duta Wacana.
Setelah sering tampil ditelevisi, lalu dikenal luas, Yusuf Mansyur mengaku dirinya tidak pernah memasang tarif saat diundang mengisi ceramah. “Saya tidak meminta bayaran atau memasang tarif, tapi kalo diberi saya tidak tolak demi menghormati yang memberi. Tapi saya sering memberi bayaran kepada yang mengundang,” kata Yusuf yang mengaku juga menjalankan usaha bisnis.
Idy Muzayyad, anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, mengatakan dakwahtaiment di televisi saat ini lebih banyak memasukkan unsur komedi, bukan pada unsur agama. “Ini menimbulkan bias,” katanya.
Selama bulan puasa ramadhan lalu, kata Idy, sebanyak 6 program acara di 4 stasiun televisi yang telah diberi peringatan oleh KPI karena program acara ramadhan yang ditayangkan dianggap mengganggu kekhusyukan umat islam melaksanakan ibadah.
Dicky Sofjan, Ph.D., pengajar prodi Indonesian Consortium for Religious Studies, mengatakan program dakwah di televisi yang kian menjamur saat ini memberi dampak pada pendangkalan terhadap ajaran agama. Bahkan program acara tersebut dinilai melakukan upaya komersialisasi agama, dimana seorang Da’i dan Da’iyah dimanfaatkan untuk mempromosikan produk.
Tidak hanya itu, acara dakwahtainment dilihat dari sisi konten terdapat permasalahan norma dan etika. Pasalnya isu agama yang diangkat itu tidak mengena pada kebutuhan umat dan permasalahan objektif terhadap persoalan kemiskinan dan kebodohan. “Lebih banyak tontonan daripada tuntunan,” tandasnya.
Ia mendorong agar KPI dan masyarakat selalu proaktif dalam mengawasi program dakwahtainment agar lebih berkualitas dan mengurangi komodifikasi agama. (Humas UGM/Gusti Grehenson)