YOGYAKARTA – Tiga orang Mahasiswa S2 Biologi UGM berhasil memperoleh dana hibah penelitian sebesar 3.500 dollar dari The Mohamed bin Zayed Species Conservation Fund. Dana tersebut diperuntukan untuk melakukan penelitian analisis kekerabatan ular Broghammerus reticulates, atau lebih dikenal dengan sebutan ular sanca batik di daerah pulau terluar Sulawesi Selatan. Tiga mahasiswa itu adalah Berry Fakhry Hanifa, Prima Nugraha dan Intan Fransisca Nanda.
Berry mengaku dirinya bersaing dengan lebih dari 500 proposal penelitian dari seluruh dunia yang diajukan ke lembaga donatur konservasi spesies milik putra mahkota Saudi Arabia pada Februari Silam. Namun dari semua proposal yang masuk hanya 69 yang dinyatakan lolos seleksi. “Salah satunya proposal penelitian yang kita kirimkan,” kata Berry, ditemui di kampus Biologi, Rabu (23/10).
Dana penelitian sebesar Rp 38 juta tersebut menurut Berry memang ditujukan untuk meneliti kekerabatan ular sanca batik di daerah pulau-pulau terluar. Diharapkan dari penelitian ini bisa menghasilkan jenis sub spesies baru dari jenis ular Broghammerus reticulates. Pasalnya, penemuan dua sub spesies baru dari ular sanca batik di Indonesia sebelumnya justru ditemukan oleh peneliti dari luar, Mark Auliya, pada tahun 2001 di pulau selayar dan pulau Tanahjampea, Sulawesi Selatan. Bahkan dari temuan tersebut menambah daftar sub spesies menjadi tiga. Sebelumnya hanya diketahui satu sub spesies saja. “Saya sendiri mencoba mengeksplorasi kluster baru dari populasi ular itu, saya memilih pulau-pulau terluar yang lebih jauh, pulau Madu dan pulau Kalaotoa, berada di dekat perbatasan dengan laut Flores,” katanya.
Berry bercerita untuk menuju dua pulau itu, dia menempuh perjalanan kurang lebih selama tiga hari. Dari Makassar ia menempuh perjalanan darat untuk mencapai pelabuhan Bira, Bulukumba. Butuh waktu 2 jam agar bisa sampai di pulau Selayar dari Bira. Setelah sampai di pulau Selayar, justru tidak gampang bagi Berry mencari kapal yang bisa mengantarnya ke pulau Madu. Lama menunggu, kapal pun datang, selanjutnya perjalanan melelahkan 24 jam dilakoni Berry agar bisa sampai ke pulau madu dan Kalaotoa. “Sekitar 3 minggu saya berada di dua pulau ini mencari ular,” katanya.
Tidak mudah bagi Berry mencari ular di pulau tersebut. Selama dua hari pertama mengelilingi bukit dan hutan belantara, dan tempat-tempat yang ditunjuk masyarakat setempat, namun belum satu pun ular yang didapat. “Ketika di cari, justru sulit,” kenangnya.
Berry pun bekerjasama dengan penduduk sekitar. Perjuangannya pun menampakkan hasil. Bersama warga ia mendapatkan ular dengan mencari lokasi habitat ular. Berry juga tidak segan-segan jika harus membelinya ke warga bahkan ia pun rela keluar tengah malam demi mendapatkan ular yang diinginkan meski harus pergi ke tengah hutan. “Dari pulau madu saya dapat 10 ekor dan dari pulau Kalaotoa dapat 5 ekor,” katanya.
Kesulitan Berry tidak sampai di situ, petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setempat melarang dirinya membawa ular-ular itu keluar dari pulau. Meski sudah menunjukkan surat tugas dari fakultas. Beruntung, Berry bisa menghubungi salah satu petugas karantina untuk meyakinkan ular-ular itu digunakan untuk kegiatan penelitian.
Rencananya, 15 ular ini nantinya akan diteliti di lab untuk dilakukan analisis kekerabatan ular Broghammerus reticulates berdasarkan sequence gen cytochrom b. Perbedaan molekulr sequence DNA dari ular ini nantinya bisa membantu Berry untuk memastikan apakah ular yang diambilnya itu merupakan sub spesies baru atau tidak. Jika iya, maka akan menambah daftar sub spesies baru. Untuk sampai ke situ, nampaknya pekerjaan panjang yang harus ditempuh Berry untuk membuktikannya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)