YOGYAKARTA – Penyelenggaraan penyuluhan pertanian dengan sistem yang ada saat ini dinilai tidak efektif dan efisien. Pasalnya jumlah tenaga penyuluh pertanian terbatas sehingga tidak semua desa memiliki tenaga penyuluh pertanian. Selain kualitas dan kuantitas tenaga penyuluh yang masih kurang, ditambah belum dimanfaatkan secara optimal lembaga adat dan keagamaan dalam mendukung penyelenggaraan penyuluhan pertanian.
Hal itu disampaikan oleh Peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Daerah Istimewa Yogyakarta, Ir. Rahima Kaliky, M.Si., dalam ujian terbuka promosi doktor pada program studi penyuluhan dan komunikasi pembangunan Sekolah Pascasarjana (SPs) UGM, Rabu (23/10). Bertindak sebagai promotor Prof. Dr. Ir. Sunarru Samsi Hariadi, MS., Ko-promotor Dr. Ir. Sri Peni Wastutiningsih dan Dr. Ir. Wiryono Priyotamtomo, M.Sc.
Rahima yang meneliti studi kasus sistem penyuluhan pertanian di 18 desa pada 6 kecamatan di 2 Kabupaten di provinsi Maluku, dia menemukan bahwa belum efektifnya kegiatan penyuluhan pertanian disebabkan sebagian penyuluh pertanian berdomisili di luar wilayah kerjanya, disamping masih adanya keterbatsan biaya operasional penyuluhan serta aksesibilitas transportasi rendah yang menyebabkan pelaksanaan penyuluhan pertanian dengan pendekatan persuasif partisipatif juga rendah.
Lemahnya penyuluhan pertanian menyebabkan pengetahuan dan pemahaman petani mengenai teknologi budidaya tanaman dan perkebunan relatif tinggi namun tingkat keterampilan dalam penerapan teknologi justru masih rendah, “Sikap petani terhadap teknologi dan motivasi menjalin kerjasama dengan penyuluh sangat rendah,” ujarnya.
Selain iyu, tambahnya, penyuluh pertanian dalam melaksanakan penyuluh pertanian kurang memfasilitasi petani untuk kemudahan mendapatkan teknologi, pasar, dan akses modal.
Tingkat kepatuhan petani pada norma sosial dalam kelembagaan adat dan keagamaan di Maluku, kata Rahima, lebih tinggi dibandingkan pada kepatuhan di kelompok tani. “Keakraban petani dalam komunitas kelembagaan adat dan keagamaan lebih tinggi dibandingkan kelompok tani,” katanya.
Sebaliknya, jaringan sosial kelembagaan adat dan keagamaan dengan penyuluh pertanian dinilainya lebih rendah dibanding dengan kelompok tani. Karenanya dalam mengarahkan masyarakat desa, pengaruh kelembagaan adat dan keagamaan lebih kuat.
Untuk memudahkan petani dapat mengakses inovasi teknolgi pertanian dan informasi pembangunan lainnya melalui kelompok sosialnya maka perlu dilibatkan dan dimanfaatkan potensi kelembagaan adat dan keagamaan segai media komunikasi di dalam proses penyuluhan pertanian di level mikro. “Sistem penyuluhan pertanian yang ada saat ini perlu diperbaiki dengan mengintroduksi inovasi kelembagaan dengan menggandeng lembaga adat dan keagamaan,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)