Selama ini pembangunan di Papua dinilai masih dilakukan secara parsial dan tidak tepat sasaran. Meskipun setiap tahun selalu dikucurkan dana anggaran pembangunan dengan jumlah yang besar melalui berbagai skema, tetapi dalam prosesnya hanya berjalan di tempat dan tidak ada terobosan berarti. Alhasil, pembangunan yang dilakukan belum mampu menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Papua.
Kondisi tersebut membuat Bupati Keerom, Papua, Yusuf Wally, S.E,. M.M., tergerak untuk mengentaskan daerahnya dari kemiskinan, keterbelakangan dan keterisolasian akibat pembangunan yang selama ini kurang berjalan baik. Ia menawarkan inovasi kebijakan kepada masyarakat setempat melalui program Bantuan Keuangan Kepada Kampung (BK3) yang telah diluncurkan 26 Maret 2011 silam. Program tersebut ditujukan mempercepat pembangunan dan kemadirian kampung.
“ Saya mencoba Membangun sebuah model pembangunan yang khas Papua yaitu Gerakan Pembangunan Dua Arah (GERBANGDA) dengan pendekatan bottom-up dan partisipatif yang diimplementasikan dalam program BK3,” jelasnya, Kamis (24/10) di FEB UGM saat bedah buku “Percepatan Pembangunan dan Kemandirian Kampung: Memahami “Gagasan Gila” Bantuan 1 M Tiap Tahun Untuk Kampung Gaya YW”.
Yusuf Wally menyebutkan melalui program BK3 setiap kampung diberikan alokasi dana Rp 1 Miliar untuk pengembangan infrastruktur. Masyarakat diberdayakan untuk berperan serta dalam proses pembangunan. “Program pembangunan ini berbasis desa, masyarakat dilibatkan dengan pendampingan dan monitoring oleh pemerintah dan LSM dalam mengelola dana tersebut”, ujarnya.
Hasilnya, program BK3 dapat berjalan dengan baik dalam mengedukasi masyarakat tentang kemandirian ekonomi . Melalui program tersebut juga berhasil menghantarkan Yusuf Wally terpilih sebagai kepala desa terbaik versi Majalah Tempo.
Prof. Loncolin Arsyad, Ph.D., Direktur MM FEB UGM mengapresiasi buku yang ditulis Bupati Keerom. Buku tersebut sangat dinilai bermanfaat untuk mahasiswa yang mempelajari tentang ekonomi pembangunan khsusnya pedesaan karena disertai dengan pemapapran teori secara lengkap dan kuat. “ Yang menjadi menarik buku ini tidak hanya menyajikan teori-teori saja, tetapi dikombinasikan dengan pengalaman empiris sehingga melahirkan strategi-strategi untuk mewujudkan percepatan pembangunan dan kemandirian Kabupaten Keerom ,” jelasnya.
Kehadiran buku ini, dituturkan Lincolin turut menepis pelabelan masyarakat Papua yang dikenal malas. Yusuf Wally sebagai salah satu anak Papua mampu membuktikan bahwa putera Papua juga memiliki pemikiran kuat untuk memajukan daerahnya. “Yusuf Wally membangun desa dengan melihat apa yang menjadi kebutuhan masyarakatnya . Membangun dengan ciri khas potensi lokal,” tuturnya.
Lincolin menyebutkan bahwa pembangunan sumber daya manusia merupakan prioritas utama dalam membangun Papua. Pembangunan sumber daya manusia dilakukanmelalui pembangunan infrastruktur pendidikan dan kesehatan. “ Yang jadi prioritas utama pembangunan di Papua adalah pembangunan SDM-nya, bukan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur memang dibutuhkan, namun harus selektif mana yang dibutuhkan oleh masyarakat lokal,” terangnya.
Pendampingan menurut Lincolin menjadi kunci penting dalam pelaksanaan pembangunan di tanah Papua. “Kalau tidak ada pendampingan maka uang 1 Miliar itu akanmenguap begitu saja tanpa ada hasilnya,” tandasnya.
Pendapat senada dikemukakan Bambang Purwoko, M.A., Ketua tim Pokja Papua UGM , selain pendampingan, untuk mempercepat pembangunan dan kemandirian Papua juga dibutuhkan upaya-upaya yang bersifat spektakular, salaha satunya seperti yang dilakukan oleh Yusuf Wally. Langkah tersebut diperlukan karena pembangunan dengan cara-cara biasa akan sangat sulit membawa Papua yang sejahtera dan mandiri.
Meskipun program yang diluncurkan Yusuf Wally dinilai berhasil, namun dikatakan Bambang program tersebut tidak akan bekerja apabila tidak didukung dengan birokrasi yang baik. Disamping itu, dalam pemberian bantuan hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing kampung.
“Sebaiknya program BK3 ini tidak dipukul sama rata. Bantuan dialokasikan sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Misalnya kampung terpencil diberi lebih banyak dibanding di perkotaan. Begitu juga penduduk lokal diberikan bantuan yang lebih banyak daripada masyarakat transmigran,”urainya.
Bambang turut berpesan kedepan Yusuf Wally melakukan sosialisasi atau pra kondisi sebelum dilakukan pengurangan stimulus bantuan. Hal tersebut dilakukan agar masyarakat lebih siap dan benar-benar mandiri setelah program tersebut berakhir. (Humas UGM/Ika)