Pada masa sekarang kondisi pertunjukan wayang golek Menak sangat memprihatinkan, oleh karena itu diperlukan langkah-langkah nyata sebagai usaha pelestarian dan pengembangannya. Revitalisasi bukan lagi sekedar relevan, tetapi yang sangat penting dilakukan agar di masa datang jenis wayang ini tidak hilang begitu saja. Wayang ini diharapkan mampu terus bertahan ditengah-tengah dinamika masyarakat yang selalu berubah oleh pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi.
Dewanto Sukistono, S.Sn., M.Sn, dosen Jurusan Pedalangan Fakultas Eni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (FSP ISI) Yogyakarta berpendapat ada tiga langkah strategis pengembangan yang perlu dilakukan. Yaitu, pentingnya pengembangan ide-ide kreatif baik untuk mengatasi faktor-faktor kesulitan teknis berkaitan dengan bentuk wayang maupun estetika pertunjukan dan meningkatkan kerjasama antar stakeholder agar peluang dan kesempatan bagi seniman untuk mengekspresikan ide-ide kreatifnya semakin terbuka. Disamping itu perlu meningkatkan informasi dan publikasi yang berkaitan dengan wayang golek Menak Yogyakarta dalam berbagai bentuk, baik tulisan maupun pertunjukan dengan memanfaatkan berbagai macam media.
“Prioritas dari hal ini adalah para generasi muda sebagai kunci keberlanjutan seni tradisi. Di dalam proses revitalisasi ini, tentu harus memahami konsep dasar serta implementasinya dalam pertunjukan wayang golek Menak, agar pengembangan yang dilakukan tidak menghilangkan esensi nilai-nilai estetika yang melekat di dalamnya”, katanya, disekolah Pascasarjana UGM, Rabu (13/11).
Menjalani ujian terbuka Program Doktor UGM Program Studi Pengkajian seni Pertunjukan Dan seni Rupa, Dewanto Sukistono mengungkapkan keberadaan wayang golek Menak di Yogyakarta dipelopori oleh Ki Widiprayitna hingga mencapai kejayaan pada tahun 1950 sanpai 1960-an. Salah satu faktor yang digemari masyarakat adalah kemampuannya dalam mengekspresikan tokoh sesuai dengan bentuk, gerak, dan karakter wayang seolah-olah benar-benar hidup layaknya manusia sesungguhnya sehingga mendapat julukan dhalang nuksmeng wayang.
Pertunjukan wayang ini mulai mengalami kemunduran saat terjadi gejolak politik dan keamanan akibat pemberontakan PKI tahun 1965. setelah periode tersebut, perkembangan wayang golek Menak Yogyakarta tidak seperti masa sebelumnya.
“Sepeninggal Ki Widiprayitna pada tahun 1982, maka jejak wayang golek Menak sampai saat ini diteruskan oleh anaknya, yaitu Sukarno dan beberapa orang lain yang pernah belajar kepada ki Widiprayitna, yaitu Sudarminta dan Amat Jaelani Suparman”, ungkapnya saat mempertahankan disertasi Wayang Golek Menak Yogyakarta Bentuk Dan Struktur Pertunjukannya.
Menurut Dewanto Sukistono, keberhasilan sebuah pertunjukan wayang golek berdasarkan pada totalitas perpaduan antara kemapanan teknis dan kualitas ekspresi yang selalu dijaga konsistensinya, sehingga mampu menciptakan transformasi dari dimensi verbal pertunjukan wayang golek menjadi dimensi imaginatif. Pada tahap itulah dalang mampu memberikan kehidupan terhadap tokoh wayang yang dimainkannya, seolah-olah tokoh wayang tersebut benar-benar hidup tanpa dimainkan oleh dalang.
“Dalang dengan kemampuan tersebut dianggap sudah mencapai tataran tertinggi dalam estetika rasa, yaitu dalang nuksmeng wayang. Persoalan-persoalan teknis cepengan dan sabetan tidak lagi penting, karena komunikasi antara penonton dengan peristiwa di panggung melalui ungkapan ekspresi dalang tidak sebatas hanya apa yang dilihat, tetapi apa yang dirasakan”, paparnya. (Humas UGM/ Agung)