YOGYAKARTA – Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan penyakit yang masih mengancam bagi masyarakat yang tinggal di negara tropis dan subtropis. Dalam kurun lima puluh tahun terakhir, angka kesakitan akibat infeksi virus Dengue terus meningkat, baik dari segi jumlah maupun penyebarannya. Diperkirakan angka kesakitan global mencapai 96 juta pertahun dan sekitar 300 juta penduduk terinfeksi dan separuhnya terjadi di Asia Tenggara. Di Indonesia, meskipun angka kematian akibat infeksi virus Dengue terus menurun dan telah mencapai di bawah 1 %, angka kesakitan masih sangat tinggi mancapai 27,6 kasus per-100 ribu penduduk.
Upaya untuk mengatasi penyakit ini terus dilakukan, tetapi hasilnya belum begitu memuaskan. Upaya itu meliputi pencegahan, termasuk di dalamnya pengedalian vektor virus Dengue, pengembangan vaksin anti-Dengue, pengembangan model untuk memprediksi munculnya wabah dan diagnosis yang lebih cepat dan akurat.
Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) RI, Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M. Sc., Ph.D mengatakan kasus infeksi virus Dengue ini masih tinggi di Indonesia karena banyak menyerang pada anak-anak. Kendati belum ditemukan vaksin yang efektif untuk mencegah virus ini, pemerintah bersama perguruan tinggi dan rumah sakit terus berupaya melakukan upaya pengedalian penyakit ini. “Upaya program sanitasi, pembasmian sarang nyamuk di area populasi, dan meningkatkan peran dokter dan perawat dalam pengobatan di puskesmas dan rumah sakit terus dilakukan,” kata Ghufron dalam simposium internasional ‘Integrating Research and Action on Dengue’ di Auditorium Fakultas Kedokteran UGM, Jumat (29/11).
Terkait dengan pengembangan vaksin dan pemetaan penyakit Dengue ini, kata Ghufron, pemerintah juga telah membentuk konsorsium kelompok kerja melibatkan berbagai lembaga riset dan perguruan tinggi seperti Litbangkes, Eijkman Institute for Molecular Biology, UGM, UI, Unair, IPB, BPPT, LIPI dan Biofarma. “Konsorsium ini menggabungkan para ahli Dengue untuk melakukan pemetaan dan sinergi riset,” katanya.
Untuk menanggulangi penyakit DBD ini, kata Ghufron, dilakukan dengan pendekatan One Health seperti yang digulirkan oleh Badan Kesehatan Dunia, WHO. Penanganan penyakit ini dilakukan melalui kolaborasi multidisiplin dan multisektor. “Tidak hanya satu biang ilmu tapi multi pendekatan bidang ilmu karena penyakit ini bersifat zoonotik,” katanya.
Dekan Fakultas Kedokteran UGM, Prof. Dr. dr. Teguh Aryandono, Sp.B(K)., mengatakan di FK UGM, beberapa peneliti telah melakukan riset dalam bidang ini bekerjasama dengan beberapa lembaga riset di luar negeri seperti Australia dan Perancis. “Pengembangan diagnosis dari aspek klinik juga terus dilakukan,” ujarnya.
Simposium internasional Dengue kali ini, kata Teguh, dimaksudkan sebagai wahana untuk mengetahui perkembangan terkini dan saling tukar informasi. Hal itu pun dilakukan guna memecahkan masalah terkait dengan penyakit Dengue baik dari aspek pencegahan, pengendalian vektor, diagnosis maupun penanganan pasien demam berdarah. Beberapa pakar yang hadir diantaranya, Prof. Scott Halstead dari Amerika Serikar; Roger Frutos dari Montpellier University, Perancis; Peter Ryan dari Monash University Australia; dan Amin Subandrio dari Kemenristek. (Humas UGM/Gusti Grehenson)