Kasus gizi buruk masih terus terjadi di Indonesia. Meskipun mengalami penurunan setiap tahunnya, kasus gizi buruk belum sepenuhnya bisa hilang.
Fatma Zuhrotun Nisa, S.TP., MP., mengatakan bahwa persoalan gizi buruk di Indonesia berkurang, tetapi tidak akan pernah selesai, walapun kemiskinan sudah terentaskan. Pasalnya, kasus gizi buruk tidak hanya disebabkan kemiskinan, tetapi pada budaya masyarakat yang sangat menentukan pemenuhan gizi balita.
Pola asuh anak turut berpengaruh secara signifikan terhadap timbulnya gizi buruk. Hanya saja selama ini banyak anggapan di masyarakat bahwa kasus gizi buruk banyak dialami balita dalam rumah tangga miskin.
“Anggapan kalau gizi buruk disebabkan oleh kemiskinan tidak sepenuhnya benar. Kejadian gizi buruk juga disebabkan pola asuh anak,” jelasnya, Jum’at (29/11) di Jurusan Gizi Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM, menyongsong diselenggarakannya Simposium Internasional “Wellness, Healthy Lifestyle and Nutrition”. Adapun kegiatan tersebut akan digelar pada tanggal 30 November -1 Desember 2013 di UC UGM dan diikuti sekitar 250 peserta dari Iran, Indonesia, Malaysia, dan Taiwan.
Fatma menuturkan, balita yang besar dalam keluarga miskin akan tumbuh sehat apabila anak diasuh oleh orang tua yang memahami pentingnya kesehatan. Ia mencontohkan bahwa ada anak yang kedua orang tuanya bekerja sebagai PNS yang berkecukupan ternyata mengalami gizi buruk. Hal tersbut terjadi karena pengasuhan anak diserahkan pada nenek yang memiliki keterbatasan pengetahuan akan pentingnya pemberian makanan berigizi.
“Kebanyakan yang terjadi karena pengasuhan diberikan pada orang dengan pemahaman akan gizi rendah seperti nenek sehingga anak hanya diberikan makanan seadanya, bahkan pola makan juga tidak menentu ,” terang Ketua Panitia simposium internasional ini.
Dalam kesempatan itu Fatma menyampaikan bahwa kasus gizi buruk yang terjadi di Yogyakarta juga lebih banyak disebabkan oleh pola asuh terhadap balita. Bukan disebabkan faktor kemiskinan seperti yang terjadi di wilayah NTT dan NTB.
“Kasus gizi buruk di Yogyakarta tergolong rendah dibawah 5 persen dan itu bukan karena kemiskinan tetapi karena pola asuh dan pola makan yang tidak benar,” kata staf pengajar Jurusan Ilmu Gizi Kesehatan FK UGM ini.
Guna mengantisipasi bertambahnya kasus gizi buruk, lanjutnya, diperlukan peningkatan pengetahuan akan pola asuh anak yang baik dan benar. Selain itu, meningkatkan keterampilan kader posyandu yang masih tergolong rendah juga perlu dilakukan
“Selama ini gizi buruk hanya diidentikan dengan bobot badan yang kurang, padahal juga ditentukan dari tinggi badan per usia. Jadi tubuh pendek itu juga termasuk dalam gizi buruk,” terangya.
Pengukuran tinggi badan balita belum banyak dilakukan di posyandu karena kurangnya alat. Kalau pun ada, pengukuran belum dilakukan secara standar.
“Masalah stunting ini belum jadi perhatian, padahal ini termasuk dalam gizi buruk. Untuk itu, penting meningkatkan keterampilan kader posyandu,” jelasnya. (Humas UGM/Ika)