Secang sudah dikenal sejak lama di Indonesia. Di Aceh disebut seupeueng, Minangkabau menyebutnya lacang, di Jawa dan Sunda disebut secang, dan berbagai wilayah lainnya yang memiliki julukan masing-masing. Di daerah lainnya seperti Jepang disebut suou, sedangkan disebut sappanwood di Inggris. Secara karakteristik, tanaman ini bisa tumbuh di ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut.
Tanaman ini termasuk tanaman liar. Masyarakat bahkan menanamnya sebagai pagar pada halaman rumah atau kebun. Tinggi pohon mencapai 10 meter. tanaman ini termasuk tanaman perdu dengan batang berbentuk bulat dengan batang berukuran sedang. Daun secang memiliki bentuk majemuk dengan panjang kurang lebih 40 cm dan mirip seperti daun petai cina dan kulit kayunya dapat mengeluarkan cairan kemerahan.
Tanaman ini berasal dari Asia Tenggara dan mudah ditemukan di Indonesia. Rasa secang sedikit asam dan segar. Untuk wedang biasanya dibuat dengan menambahkan kapulaga dan jahe merah. Rasa hangat akan dirasakan tubuh setelah meminum wedang. Meski begitu, ia masih memiliki khasiat lain yang sangat bermanfaat.
Menurut Bani Adlina Shabrina, Raisatun Nisa Sugiyanto, dan Prisnu Tirtanirmala, mahasiswa Fakultas Farmasi UGM, pengembangan Kayu Secang (Caesalpinia sappan L) dapat dijadikan agen antiosteoporosis non-genoktosik pada wanita post-menstrual. Hasil penelitian mereka memperlihatkan pemanfaatan kayu secang sebagai kearifan lokal asli Indonesia dapat dijadikan solusi mengatasi osteoporosis pada wanita post-menstrual yang efektif dan aman.
“Tentu aman bagi DNA, dan hasil penelitian ini membanggakan kami karena berhasil keluar sebagai juara II bidang IPA di ajang Kompetisi Ilmiah LIPI tahun 2013,” ujar Bani Adlina Shabrina di ruang Fortakgama, Selasa (3/12).
Kenapa mesti secang, kata Bani Adlina, karena penggunaan susu berkalsium tinggi untuk mengatasi osteoporosis selama ini berpotensi seseorang terkena hipertensi. Sementara itu, penggunaan hormon replacement therapy menjadi seseorang terkena kanker servix. “Karena dalam secang salah satunya terkadung flavonoid sebagai agen antiosteoporosis dan sungguh aman untuk dikonsumsi,” katanya.
Meski masih sebatas penelitian secara in vivo dengan menggunakan hewan tikus sebagai hewan uji, Bani Shabrina berharap pemanfaatan kayu secang nantinya dapat diproduksi secara massal sebagai obat antiosteoporosis. Sayangnya, proses tersebut masih panjang dengan banyak tahapan yang harus dilalui. “Naskah hasil penelitian kita terpilih sebagai 5 karya terbaik dan dipresentasikan pada kompetisi ilmiah LIPI tahun 2013 di Jakarta,” katanya lagi.
Bani Shabrina menjelaskan, Tim Pemilihan Peneliti Remaja Indonesia (PPRI) XII Fakultas Farmasi UGM dengan penelitian berjudul “Pengembangan Kayu Secang (Caesalpinia sappan L) sebagai Agen Antiosteoporosis yang Non Genoktosik pada Wanita Post Menstrual” menjadi salah satu karya dari 179 karya yang diajukan dalam PPRI XII di Widya Graha LIPI Jakarta pada 14-15 November 2013. Sebanyak 179 karya terbagi dalam Bidang IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), IPT (Ilmu Pengetahuan Teknologi) dan Ilmu Pengetahuan Sosial Kemanusiaan. “Semua diambil 5 terbaik dimasing-masing bidang. Alhamdullilah, kita 5 terbaik di IPA dan menjadi juara II,” jelasnya. (Humas UGM/ Agung)