Dua mahasiswa Jurusan Sastra Nusantara Fakultas Ilmu Budaya UGM turut berpartisipasi dalam Seminar Antarabangsa Arkeologi, Sejarah dan Budaya di Alam Melayu. Kegiatan berlangsung pada 26-27 November 2013 lalu di Universiti Kebangsaan Malaysia . Mereka adalah Zakariya Pamudji Aminullah dan Moh. Taufiqul Hakim.
Seminar yang digelar oleh Institut Alam dan Tamadun Melayu bekerjasama dengan Ikatan Ahli Arkeologi Malaysia ini diikuti oleh mahasiswa serta peneliti dari berbagai universitas di kawasan Asia. Setidaknya, terdapat 83 makalah yang dipersentasikan dalam kegiatan tersebut.
Pada kesempatan tersebut Zakariya membawakan makalah bertajuk “Nayika dari Argopura: Alamkarasastra” dalam Teks Ketoprak Lampahan Rengganis”. Secara garis besar karya tulis memaparkan bahwa untuk mengungkapkan nilai-nilai yang tersirat dalam lampahan-lampahan ketoprak, seyogianya seniman menguasai alur (itivitta) lampahan-lampahan ketoprak dengan sempurna. Seniman tidak perlu secara khusus dan eksplisit menampilkan ajaran-ajaran atau dogma-dogma tertentu kepada penontonnya. “Dalam tradisi ketoprak Yogyakarta, lampahan ketoprak pada dasarnya merupakan penaratifan suatu ajaran atau dogma tertentu dengan nuansa yang ritualistik,” paparnya baru-baru ini.
Zakariya menuturkan penelusuran mendalam terhadap lampahan-lampahan ketoprak dari berbagai macam tradisi menjadi penting untuk dilakukan . Diharapkan melalui karya itu dapat dimengerti berbagai macam karakteristik etika yang dimiliki oleh semua etnis di Kepulauan Nusantara ini. Sementara itu, Moh. Taufiqul Hakim mempresentasikan karya tulis berjudul “Bhima sebagai Teks dan Konteks Kasultanan Bima” yang mengungkapkan adanya pertemuan antara tiga peradaban, yaitu Bima, Melayu dan Jawa. Hubungan kultural antara sosok Bhima dalam viracarita Mahabharata Sansekerta maupun Jawa dengan Kasultanan Bima di Nusa Tenggara Barat mempunyai tempat tersendiri. Secara filosofis, sifat kama yang berarti “keinginan yang kuat untuk mempertahankan hidup” direpresantasikan oleh sosok Bhima. “Sifat tersebut merupakan bagian dari filosofi caturpurusârtha dan mempunyai peran yang signifikan dalam sejarah perkembangan Kasultanan Bima,”jelasnya.
Menurutnya, nama Bima merupakan nama yang cocok bagi Kasultanan Bima sendiri. Dalam perjalanan sejarahnya, Kasultanan Bima mengalami banyak peperangan dan penaklukkan dengan kerajaan luar daerah dan kompeni yang saat itu mempunyai kepentingan. Sifat kama yang identik dengan kekuatan dan pertahanan untuk hidup sangat diperlukan oleh masyarakat Bima. (Humas UGM/Ika)