YOGYAKARTA – Kebijakan energi nasional selama ini dinilai tidak cerdas karena belum mendorong percepatan kemandiran dan ketahanan energi bangsa. Hal itu dapat dilihat dari lemahnya komitmen pemerintah pusat dan daerah dalam mengembangkan energi baru dan terbarukan. Padahal sumber bahan bakar energi fosil sudah tidak lagi bisa diandalkan dalam 25-50 tahun mendatang. Dewan Energi Nasional (DEN) bahkan sudah merencanakan pemanfaatan energi terbarukan setidaknya mampu memenuhi sekitar 21 persen dari kebutuhan energi nasional. “Saat ini baru 5 persen yang sudah dipenuhi,” kata anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Dr. Ir. Tumiran, M.Eng, di sela seminar Green Energy Technology, di University Club UGM, Jumat (6/12).
Dosen Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik UGM ini mengatakan pemanfaatan energi surya, energi angin, air dan biomassa sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Oleh karena itu, menurutnya, dibutuhkan perombakan kebijakan energi lewat komitmen para pemimpin bangsa di masa mendatang. “Tanpa itu, kita akan selalu menjadi pasar dan negara lain yang mengambil keuntungan dari sumberdaya alam yang kita miliki,” imbuhnya.
Dia mengusulkan, sumber energi fosil yang kita miliki saat ini seharusnya tidak lagi dijadikan komoditas tapi harus kita perlakukan sebagai modal pengembangan industri seperti yang sudah dilakukan China. “Mereka memiliki cadangan batubara yang lebih besar tapi sebagian besar dimanfaatkan sendiri guna mengembangkan industri di dalam negeri mereka,” ungkap Tumiran.
Kebijakan mengekspor mineral dalam bentuk bahan mentah saat ini diakui Tumiran sangat merugikan. “Sangat ironis. Indonesia merupakan negara dengan cadangan batubara terbesar kelima di dunia, tapi bangga menjadi negara pengekspor batubara terbesar,” katanya.
Agar kebijakan energi nasional bisa lebih cerdas di masa mendatang, saat ini DEN sedang menyusun Kebijakan Energi Nasional sebagai acuan pemanfaatan sumberdaya energi di daerah-daerah. “Artinya, pemanfaatan sumber energi di daerah harus diselaraskan dengan perencanaan nasional,” katanya.
Kemandirian energi, selain harus memenuhi aspek ketahanan energi pun harus memenuhi aspek teknologi. Menurutnya, tanpa menguasai teknologi, jangan harap negara ini unggul. Persoalannya, selain pemerintah belum menunjukkan komitmen yang kuat dalam mewujdukan kemandirian dan ketahana energi, tidak ada pula koordinasi di antara kementerian. “Masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Masing-masing kementerian memiliki kebijakan sendiri, sehingga sering tumpang tindih atau menjadi tidak efisien,” tutur Tumiran.
Asisten Deputi Iptek Masyarakat Kemenristek, Drs. Momon Sadiyatmo, M.Si., sedikit banyak mengakui hal itu. “Selama ini kami sudah mendorong masyarakat untuk melakukan inovasi, termasuk di bidang green energy. Tapi, hanya sebatas pengembangan teknologi itulah kewenangan kami. Selanjutnya, jika ingin dikembangkan untuk skala industri, sudah bukan lagi menjadi urusan Kemenristek,” paparnya.
Guna mendorong pengembangan teknologi, Sediyatmo mengemukakan, baru-baru ini telah mengirimkan delapan orang ke Jerman untuk belajar tentang energi baru dan terbarukan, termasuk bidang green energy. “Saat ini kami juga memiliki enam belas bidang unggulan di bidang pengembangan teknologi energi terbarukan,” tandasnya.
Peneliti energi terbarukan dari Jurusan Teknik Fisika UGM, Dr. Ahmad Agus Setyawan, mengatakan pemanfaatan energi baru dan terbarukan sangat dibutuhkan bagi daerah-daerah pulau terpencil atau daerah-daerah perbatasan yang belum menikmati pembangunan secara merata.
Agus sendiri mengaku, dirinya kini tengah memanfaatkan enegri surya untuk mengangkat air di darerah yang kesulitan air seperti di daerah Gunung Kidul dan Bantul, Yogyakarta. “Yang kita kembangkan pompa air dengan tenaga surya,” ujarnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)