YOGYAKARTA – Peneliti Pusat Penelitian Kesehatan Global, Universitas Umea, Swedia, Maria Nilsson, mengatakan perubahan iklim berdampak pada kesehatan masyarakat global. Indonesia, menurutnya, sangat rentan terkena dampaknya. Pasalnya, kepadatan penduduk yang tinggi, ribuan pulau-pulau kecil dan garis pantai sepanjang 80 ribu kilometer makin menjadikan Indonesia paling besar terkena dampak kenaikan suhu global kenaikan permukaan air laut bila es di kutub utara dan selatan mencair.
Sementara yang terjadi saat ini, perubahan iklim sudah menyebabkan kemarau berkepanjangan dan perubahan pola hujan yang telah mengancam keamanan pangan dengan hilangnya lebih 300 ribu ton produksi hasil panen. Lebih dari itu, jumlah curah hujan yang meningkat, bencana banjir dan longsor juga makin mengancam. “Kenaikan suhu global tersebut telah menimbulkan perubahan iklim yang cukup ekstrim,” kata Nilsson belum lama ini saat mengisi Simposium Perubahan Iklim dan Kesehatan di Fakultas Kedokteran UGM.
Perubahan pola curah hujan, kata Nilsson, sedikit banyak menjadikan ancaman bencana longsor di beberapa daerah. Oleh karena itu, kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana ini perlu diperkuat serta didukung kesiapsiagaan tenaga medis di rumah sakit dalam menangani korban bencana. “Kesiapan rumah sakit dalam penanganan korban bencana dan memperkuat ketangguhan masyarakat menghadapi bencana sangat dibutuhkan,” katanya.
Dari penelitian yang dilakukan Nilsson di Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta, ia mengaku kebijakan pemerintah daerah dalam menyiapkan masyarakat yang tangguh menghadapi ancaman perubahan iklim global masih sangat minim. Kerjasama antara Universitas Umea, UGM, dan Pemkab Gunungkidul diharapkan mampu menyusun strategi mitigasi bencana yang mampu melindungi kesehatan masyarakat lewat adapatasi menghadapi ancaman risiko bencana.
Namun begitu, kata Nilsson, proyek yang dibiayai Swedia Development and Cooperation Agency ini juga memberikan pengalaman dan pembelajaran bagi kedua negara dalam menyusun strategi kebijakan penyiapan masyarakat di sektor kesehatan.
Kebijakan mitigasi perubahan iklim membutuhan komitmen dari pemangku kebijakan dalam menyiapkan masyarakat yang adaptif menghadapi risiko perubahan iklim dan pemanasan global. Yang tak kalah lebih penting, memaksimalkan pelayanan kesehtan yang tepat waktu dalam menghadapi bencana antropogenik (ulah manusia) dan bencana alam serta memperkuat surveilans kesehatan masyarakat. “Kami juga berupaya menyebarkan ilmu pengetahuan yang dapat mendukung penduduk Indonesia dan Swedia beradaptasi dengan perubahan iklim,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)