Indonesia memiliki tingkat perceraian tertinggi di Asia. Jumlah kasus perceraian di Indonesia mencapai 200.000 setiap tahun. Menurut Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama di Mahkamah Agung, jumlah kasus perceraian di Indonesia mencapai 272.794 pada tahun 2011. Data menunjukkan bahwa jumlah kasus perceraian di Jawa Timur saja pada tahun 2003 mencapai 40.391 dan meningkat menjadi 42.769 pada tahun 2004, dan pada tahun 2005 melonjak tajam menjadi 55.509 kasus.
“Penelitian ini berupaya untuk mengetahui bagaimana nilai-nilai budaya mempengaruhi kepuasan pernikahan,” papar Fakher Nabeel Mouhammad Khalili pada ujian terbuka program doktor Fakultas Psikologi UGM, Senin (9/12) di Fakultas Psikologi UGM. Pada kesempatan itu Khalili mempertahankan disertasinya yang berjudul Cultural Dimensions and Marital Relationship. Penelitian Khalili dilakukan terhadap 249 orang Jawa dari UGM dan 354 orang Palestina dari Universitas An-Najah Nasional.
Khalili menyebutkan bahwa kepuasan dalam pernikahan dianggap sebagai evaluasi global dan keseluruhan seseorang atau sikap terhadap pasangan dan hubungan yang kemungkinan memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan untuk bercerai. Dari banyak penelitian, pasangan dari Jawa puas dengan pernikahan mereka. Sementara itu meskipun tingkat perceraian di Palestina rendah, pasangan di Palestina ternyata tidak merasa puas dengan pernikahan mereka.
“Ada dua budaya di sini. Masyarakat Jawa dengan kepuasan dalam pernikahan namun tidak stabil, dan masyarakat Palestina dengan ketidakpuasan dalam pernikahan tapi stabil,” urai dosen di Fakultas Pendidkan, Universitas An-Najah Nasional, Nablus, Palestina itu.
Dari penelitian itu terungkap bahwa orang Jawa memiliki tingkat kepuasan pernikahan dan komitmen yang tinggi. Perbedaan kekuasaan memiliki efek yang lebih kuat pada kepuasan pernikahan. Efek yang terakhir adalah melalui pembagian peran dalam rumah tangga. Untuk orang Palestina, mereka juga memiliki tingkat kepuasan pernikahan dan komitmen yang tinggi. Penghindaran ketidakpastian memiliki efek yang lebih kuat pada kepuasan pernikahan, diantaranya neurotisisme.
“Namun orang Jawa memiliki sikap yang lebih positif terhadap perceraian dibandingkan dengan orang Palestina,”tambahnya.
Khalili berharap dari penelitiannya itu untuk konteks Jawa, konselor atau terapis keluarga diminta untuk menyerukan kepada klien mereka agar membangun rasa kesetaraan dan orientasi masa depan antara suami dan istri dengan menekankan pada pemerataan tanggung jawab mereka dan menekankan pada masa depan hubungan suami istri bukan berfokus pada masa lalu.
Sementara itu, dalam konteks Palestina, pembimbing atau terapis keluarga diminta untuk menyerukan kepada klien mereka agar membangun rasa kesetaraan, gaya hidup terstruktur, harapan yang disampaikan secara jelas, dan rasa ketahanan antara suami dan istri dengan menekankan pada pemerataan tanggung jawab mereka, menekankan pada kesepakatan yang jelas antara keduanya, dan mengelola stres mereka. (Humas UGM/Satria)