Raden Saleh yang kita kenal selama ini merupakan salah seorang maestro lukis Indonesia dan Eropa. Ia dinilai sebagai sosok cerdas yang multidimensi. Pengalaman hidupnya di dua dunia, Timur dan Barat, serta penguasaannya mengenai teknik lukis Barat ketika itu menjadikan Raden Saleh (1807-1880) sebagai tokoh fenomenal bangsa Indonesia.
“Sangat sulit untuk merangkum perjalanan hidup Raden Saleh karena dia sosok yang sangat kompleks dan multidimensional,” ungkap Drs. Suwarno Wisetrotomo M.Hum, dosen Fakultas Seni Rupa dan Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI)) Yogyakarta, pada seminar great thinkers bertajuk Hibriditas Raden Saleh, di Sekolah Pascasarjana UGM, Selasa (10/12).
Lahir di Terboyo, Semarang, pada tahun 1807, masa kecil Raden Saleh hingga tahun 1822 dihabiskan di kediaman pamannya Kyai Adipati Soero Menggolo, Bupati Semarang, di Terboyo. Sejak usia tujuh tahun, Raden Saleh di-ngenger-kan pada keluarga Belanda GAG Baron van der Capellen. Mulailah ia belajar melukis pada Antoine Auguste Joseph Payen, pelukis kelahiran Brussel, Belgia yang bekerja di Pusat Penelitian Pengetahuan dan Kesenian Pemerintah Belanda di Bogor.
Payen pula yang pada akhirnya mengusulkan kepada pemerintah Belanda agar Raden Saleh dikirim ke Eropa untuk belajar melukis. Pada tahun 1829-1839, ia belajar melukis pada Cornelius Krusseman dan Andreas Schelfhout. Pada tahun 1839 Raden Saleh pergi ke Dresden, Jerman dan tinggal selama lima tahun. Kemudian ia pergi ke Paris, Prancis dan tinggal hingga tahun 1850.
Pada tahun 1851 Raden Saleh kembali ke Jawa, beraktivitas di Batavia, Bogor, Semarang, Magelang, termasuk naik ke Merapi (1865). Tahun 1867 menikahi Raden Ayu Danudiredjo, kerabat Pangeran Diponegoro, kemudian tinggal di Bogor. “Sebenarnya ini isteri keduanya. Isteri pertamanya perempuan Barat tapi tak pernah dikisahkan secara terbuka,” papar Suwarno.
Di tahun 1877 melakukan perjalanan ke Paris dan tahun 1879 kembali ke Jawa (Batavia), kemudian menetap di Bogor. Setahun kemudian, 23 April 1880, Raden Saleh meninggal di Bogor. Isterinya menyusul ke alam baka pada 1 Agustus 1880.
Mencermati dokumentasi yang ada, dari cara berpakaiannya menunjukkan Raden Saleh hidup dalam dunia Barat dan Timur. Ia tidak berpakaian modern selayaknya orang Eropa, tapi juga tidak persis berpakaian tradisional Jawa. “Raden Saleh seperti mengambil jalan tengah agar bisa diterima di dua budaya itu,” tutur Suwarno.
Dari sepucuk suratnya kepada salah seorang berkebangsaan Belanda, Raden Saleh menegaskan, ia bersedia loyal asal adil dan memberikan pencerahan bagi dirinya. “Dari cara berpakaiannya, menggambarkan bentuk perlawanan Raden Saleh. Ada unsur meniru sekaligus memperolok-olok. Demikian pula yang dapat kita maknai dari sejumlah karya lukis Raden Saleh,” tandas Suwarno.
Kepala Program Studi Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Fakultas Ilmu Budaya UGM, Dr. GR. Lono Lastoro Simatupang, M.A, menyebutkan Raden Saleh merupakan sosok hibrid, blasteran, liminal yang hidup di dunia ambang. “Dalam konteks Raden Saleh, ia hidup di Timur dan Barat, atau bisa jadi tidak hidup di Timur maupun Barat,” katanya.
Seorang liminal, imbuhnya, bisa disebut sebagai sosok tanpa identitas dan tanpa eksistensi. Tapi, bisa pula dimaknai sebagai sosok multi-identitas dan multi-eksistensi. “Itulah Raden Saleh. Sosok yang antistruktur tapi kreatif sehingga kita pun bisa menyebutnya sebagai figur yang cerdas,” tutur Lono kemudian. (Humas UGM/ Agung)