YOGYAKARTA – Membanjirnya komoditas pangan impor di dalam negeri akibat kebijakan impor, ditengarai makin melemahkan kemampuan daya saing petani dan masyarakat pedesaan dalam meningkatkan produktifitasnya dalam menghadapi kompetisi global. Oleh karena itu, pemerintah dinilai tidak memiliki tekad dan ideologi yang kuat untuk membangun kemandirian bangsa di bidang pangan. Sebaliknya, pemerintah justru menggantungkan produk impor demi memenuhi kebutuhan pangan yang seharusnya bisa dihasilkan dari dalam negeri sendiri.
Demikian yang mengemuka dalam Diskusi Gerakan Kedaulatan Pangan Nusantara yang berlangsung di Gedung pusat UGM, Rabu (11/12), yang diinisiasi oleh UGM dengan menggandeng tiga Kabupaten, yakni Kabupaten Banyumas, Kabupaten Bojonegoro, dan Kabupaten Kulonprogo; serta Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (KAGAMA) dalam bentuk pengembangan agribisnis di pedesaan. Beberapa program kegiatan yang akan dilaksanakan diantaranya pengembangan usaha peternakan sapi perah dan potong, kambing dan domba, budidaya tanaman holtikultura, tanaman pangan, dan tanaman kayu hutan.
Rektor UGM, Prof. Dr. Pratikno, M.Soc., Sc., mengatakan gerakan kedaulatan pangan yang diinisiasi oleh UGM sejak Oktober lalu. Diakui Pratikno, gerakan tersebut masih dianggap beberapa kalangan sebagai gerakan anti kebijakan impor atau anti perdagangan bebas. Padahal lewat gerakan kedaulatan pangan ini, menurut Pratikno, diharapkan mampu menggugah seluruh komponen untuk bersinergi mewujudkan kemandirian bangsa sebagai salah satu kekuatan untuk memenangkan kompetisi global. “Gerakan ini mengingatkan eksistensi kita sebagai sebuah bangsa yang seharusnya bisa mandiri, meski hidup di era penuh kompetisi. Semua negara adalah kompetitor. Tanpa kedaulatan, tidak akan mungkin bisa memenangkan kompetisi,” kata Pratikno usai penandatangan kerjasama.
Di tengah era globalisasi, kata Pratikno, mau tidak mau Indonesia masuk ke dalam aturan perdagangan pasar bebas. Meski belum secara resmi diberlakukan, namun komoditi produk impor sudah menjangkau seluruh pelosok daerah. “Mulai dari jeruk dan anggur china, apel selandia baru. Globalisasi sudah masuk ke dapur rumah kita,” katanya.
Gerakan kedaulatan pangan bukan berarti menolak kehadiran pasar global, namun segenap elemen bangsa perlu menyadari untuk lebih mencintai dan membeli produk dalam negeri. Kerjasama dengan pemerintah daerah ini menurut Pratikno sebagai bentuk karya nyata dari peran UGM dalam menyampaikan ilmu pengetahuan agar bisa dimanfaatkan masyarakat. Pengembangan agrobisnis di bidang pertanian dan kehutanan ini diharapkan mampu meningkatkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat pedesaan.
Bupati Kulonprogo, Hasto Wardoyo, mengatakan kedaulatan pangan dapat diraih dengan adanya kebijakan dari masing kepala daerah untuk menggalakkan masyarakat agar bangga dan mau membeli hasil produk daerah masing-masing. Ia menceritakan pengalamannya setelah berhasil memproduksi produk air kemasan dan batik geblek renteng khas Kulonprogo. “Prinsipnya, mulai dari hal yang kecil, berpikir tetap besar, mulainya dari sekarang,” ungkapnya.
Terkait dengan gerakan kedaulatan pangan, menurut Hasto, dari sisi teknologi sangat tidak mungkin bagi Indonesia untuk mengejar ketertinggalannya dari negara lain. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan ideologi membela dan membeli produk bangsa sendiri. “Istilahnya, lebih baik kelaparan, dari pada makan barang impor. Sebenarnya ini lebih gampang, dibanding perjuangan pahlawan kita dulu, memilih mati atau merdeka daripada tetap dijajah bangsa asing,” katanya.
Bupati Bojonegoro, Suyoto, mengaku dirinya menyambut gembira ajakan UGM untuk ikut serta mendukung gerakan kedaulatan pangan nusantara. Menurutnya, kerjasama semacam ini semakin membantunya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat Bojonegeoro yang menurutnya tidak bisa mengandalkan dari sumber energi minyak dan gas bumi yang dikelola oleh pemerintah pusat dan perusahaan multinasional. “Urusan Indonesia bukan hanya banjir dan macet. Yang bikin saya gembira, ternyata masih ada universitas seperti UGM yang mau mengurusi pangan yang ada di daerah,” katanya.
Suyoto menyampaikan, Bojonegoro memiliki produksi padi 876 ribu ton per tahun. Sementara yang dikonsumsi berkisar 400-an ribu ton. Jika dikembangkan dengan lebih baik lagi, Bojonegoro memproduksi 1,5 juta ton. “Kalo Indonesia impor sampai 2,5 juta ton, separuhnya bisa diambil dari Bojonegoro,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)